Civil Society dan
Masyarakat Madani:
Diskursus Tentang Ruang
Publik
Oleh
Dwi
Ilham Setyawan[1]
[1] Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, dengan
konsentrasi bidang minat Hukum Tata Negara.
gambar diambil dari http://static.ibnlive.in.com/ibnlive/pix/sitepix/07_2011/civil-society-180711.jpg |
Selama ini istilah
civil society dan masyarakat madani seringkali dipadankan, yakni suatu konsep
mengenai suatu masyarakat yang relatif otonom atau mandiri dari negara, dan
saling terintegrasi terlepas dari sekat-sekat agama, ras, suku, dan etnis.
Namun sebagai suatu realitas sosial-politik, free public sphere yang diisi oleh
jenis masyarakat atau komunitas tersebut di atas perlu untuk dipahami secara
mendalam mengenai hakikat, konsepsi, dan aktualisasinya dalam konteks bangunan
negara tertentu di mana ia ada di dalamnya. Hal ini tidak lain ialah agar
tercipta suatu kondusifitas antara tata pemerintahan oleh negara dan kehendak
nyata dari masyarakat, terutama dalam level grassroot.
PENDAHULUAN
Usaha
manusia untuk berpikir mengenai konsep negara dan masyarakat telah dititi sejak
berabad-abad lalu. Dalam kepustakaan barat, dikatakan bahwa tonggak pemikiran
yang menyoal hal demikian ialah di masa peradaban para filsuf Yunani Kuno
“berueforia” dalam intelektualitas mereka, dan hal tersebut terus berlanjut
hingga abad pertengahan, abad modern, dan post-modern saat ini. Namun demikian,
tidak cukuplah hal tersebut memuaskan hasrat berpikir dari manusia tentang
konsep, ide, dan cita-cita tentang negara dan masyarakat, lebih-lebih dalam
alam kenyataan (das sein) ide-ide yang bertebaran tersebut belum juga mampu
mengkonstruksi tatanan sosial yang benar-benar mewujudkan masyarakat yang “tata
tentrem kerta raharja.”
Suatu
sisi pemikiran mengenai hubungan negara dan masyarakat yang hingga saat ini
masih debatable di kalangan
intelektual dan pemikir-pemikir ilmu sosial dan politik ialah mengenai konsep
dari pada civil society dan
masyarakat madani. Keduanya sering dipahami sebagai suatu padanan kata untuk
menggambarkan kondisi masyarakat yang telah maju (berkeadaban), otonom,
berkembang, dan saling terintegrasi antar anggotanya. Kedua istilah tersebut
juga sering dismakan dengan istilah masyarakat sipil.
Namun
demikian, sebagaimana telah disinggung di atas bahwa peristilahan civil society secara an sich masih mengandung polemik.[1]
Bahkan dikatakan oleh Adi Suryadi Culla, bahwa sampai saat ini khususnya di
Indonesia belum banyak kepustakaan yang mengulas tentang “masyarakat sipil” dalam
perspektif ilmu politik.[2]
Kiranya
kajian terhadap dua peristilahan tersebut diatas, yakni civil society dan masyarakat madani, perlu untuk diadakan
terutamanya untuk menentukan proyeksi kedepan dalam membangun dinamika hubungan
antara negara dan masyarakatnya. Mengingat di setiap negara selalu terdapat
potensi terjadinya distorsi atas kekuasaannya terhadap warga masyarakat, maka
menjadi suatu prasyarat bagi setiap warga masyarakat yang ingin maju untuk
mengetahui hakikat keberadaannya terhadap negara.
Oleh
karena output kajian yang demikian,
maka penyelidikan yang dilakukan haruslah berupaya untuk menyeimbangkan antara
kecenderungan studi yang society-centered
dan state-centered.[3]
Hal ini tiada lain dimaksudkan agar dapat diperoleh perimbangan cara pandang
terhadap suatu permasalahan guna menemukan sebaik-baiknya kesimpulan untuk
mencapai tujuan dari kajian yang diadakan.
PEMBAHASAN
A.
Civil
Society
Istilah
civil society pertama muncul dari
ajaran seorang orator dan pujangga Roma
yang hidup dalam abad pertama sebelum Kristus (Before Christ), yakni pada tahun 106 SM, bernama Cicero.[4]
Istilah awal yang digunakan oleh Cicero ialah civilis societas, yang bermakna sebuah masyarakat yang memiliki
kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup.[5]
Pengertian yang diberikan oleh Cicero ini mengacu pada gejala budaya perorangan
dan masyarakat pada saat itu, yakni pada zaman Romawi. Hal ini dapat dimengerti
dimana pada zaman kekuasaan imperium Romawi, tata pergaulan orang-orang yang
hidup di kota-kota diatur oleh suatu hukum tertulis sebagai mana konsep hukum
yang berkembang dalam tradisi civil law.
Perlu ditambahkan, dalam konsep ini Cicero beranggapan bahwa masyarakat yang hidup di luar kota dianggapnya
sebagai masyarakat yang tidak beradab (barbarian) karena belum diatur oleh
hukum.
Berlanjut
ke zaman modern, istilah civil society kembali
dihidupkan oleh John Locke (1632-1704), seorang filsuf berkebangsaan Inggris,
dan J.J. Rosseau (1712-1778), seorang filsuf dari Perancis. Secara garis besar,
baik John Locke maupun J.J. Rosseau mendefinisikan civil society sebagai suatu masyarakat politik yang telah
berkeadaban, telah mengikatkan diri pada penguasa yang mendapat legitimasi
rakyat (teori kontrak sosial), dan masyarakat yang terikat oleh adanya hukum
penguasa.[6]
Konsep
civil society dari John Locke dan J.J Rosseau tersebut bertolak
dari gejala alami (parental authorithy) suatu kelompok manusia.
Dengan demikian keduanya mengandaikan bahwa sebelum masa civil society , masyarakat telah hidup dalam kondisi alamiahnya
yang tanpa aturan (tanpa hukum dari penguasa) dan tidak adanya kekuasaan dari
otoritas yang sah (tidak ada negara atau pemerintahan). Selanjutnya pemikiran
mengenai civil society yang demikian
ini diikuti pula oleh Adam Smith, kesemua pemikir di atas berada dalam suatu
perspektif yang mengidealisasikan civil
society sebagai hasil perkembangan masyarakat pada tataran yang telah maju.[7]
Kemudian
Karl Marx dan Friederich Hegel pun juga menuangkan pemikirannya mengenai civil society. Marx dan Hegel memiliki
corak yang hampir sama dalam menyikapi civil
society, keduanya memandang bahwa benar civil
society itu merupakan taraf yang lebih jauh dan maju dari perkembangan
kehidupan manusia, akan tetapi di dalam masyarakat yang demikian ini sangat
berpotensi menimbulkan konflik karena tiap individu saling memperjuangkan
kepentingannya masing-masing. Akhirnya mereka pun mengidealisasikan negara
sebagai entitas yang mampu meredam konflik-konflik tersebut, bahkan Hegel
menyatakan bahwa negara merupakan penubuhan segala nilai kebaikan.[8]
Meski
berada pada barisan ide besar “kaum kiri”, namun Antonio Gramsci memiliki
pandangan yang berbeda dari Marx dan Hegel. Bagi Gramsci, civil society bukan hanya melayani kepentingan individu, namun juga
kelompok atau organisasi-organisasi. Dan pada gilirannya civil society dapat menjadi benteng
dari hegemoni kelas borjuis dan akhirnya menjadi pendukung negara. Di
sini adapun peran negara, yakni sebagai otoritas yang mendidik civil society dan mengarahkan
perkembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.[9]
Demikianlah
tinjauan umum mengenai konsep civil
society dari beberapa tokoh.
Terlihat bahwa dalam kemunculannya, civil
society telah hadir secara “built-in”
dengan corak yang lebih Euro-sentris.
B.
Masyarakat
Madani
Istilah
masyarakat madani pertama kali diperkenalkan oleh P.M. Malaysia pada dasawarsa
90-an, Anwar Ibrahim, dalam sebuah acara diskursus akademis bernama Festival
Istiqlal pada tahun 1995.[10]
Di Malaysia, yang kemudian diikuti oleh Indonesia, pengertian masyarakat madani
sekilas merujuk pada konsep civil society
dari Cicero, yang pada intinya menggambarkan suatu komunitas politik yang
beradab.[11]
Dalam
perspektif Islam, masyarakat madani lebih mengacu pada penciptaan peradaban.
Titik tolak yang kerap dijadikan acuan ialah ketika Muhammad SAW (bersama
rombongan umat Islam Mekah) melakukan migrasi dari Mekah ke Yatsrib, tak lama
setelah migrasi tersebut ia membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan
bersama baik antar masyarakat di Yatsrib yang cukup plural ketika itu (yakni
terdapat golongan Islam, Yahudi, Nasrani, dan penganut kepercayaan kuno), serta
antara penduduk Yatsrib dengan para pengikutnya dari Mekah. Ia memandang perlu
membuat meletakkan aturan pokok tata kehidupan bersama di Yatsrib, agar
terbentuk kesatuan hidup di antara seluruh penghuninya.[12]
Aturan
pokok tata kehidupan bersama yang diusulkan Muhammad SAW tersebut setelah
mendapatkan persetujuan bersama, ditulis dalam suatu naskah yang disebut Al-Shahifah. Menurut Ahmad Sukardja kata
shahifah semakna dengan charter dan piagam.[13]
Ditetapkannya
piagam politik tersebut merupakan suatu upaya agar masyarakat yang relatif
plural atau heterogen di kota Yatsrib dapat hidup bersama secara tertib,
harmonis dan saling menjaga satu sama lain berdasarkan aturan yang telah
disepakati dalam Al-Shahifah.Mengenai
kapan tepatnya pembuatan dokumen tersebut, masih terjadi perdebatan dikalangan
ahli termasuk para orientalis. Sebagian menyatakan bahwa Piagam Madinah dibuat
sebelum perang Badr dan sebagian yang lain menyatakan dibuat setelah perang
Badr.
Terlepas
dari perdebatan mengenai waktu pembuatan Piagam Madinah, dengan demikian dapat
digaris bawahi bahwa tata kehidupan masyarakat di Yatsrib di bawah tata
hukumnya yang tertuang dalam Al-Shahifah,
yang menjadi rujukan munculnya istilah masyarakat madani, mempunyai kesamaan
karakteristik dengan konsep civil
society. Hanya saja dalam konsep Cicero, masyarakat yang berdiam di luar
kota atau di luar negara Roma dianggap sebagai masyarakat yang tak beradab, dan
hanya masyarakat yang tinggal di dalam kota atau di dalam negeri Roma-lah yang
dianggap beradab, sedangkan konsep masyarakat madani jika merujuk pada
terminologi dalam islam akan memberi arti pada setiap daerah yang dihuni
masyarakat sebagai suatu peradaban.[14]
Dengan
demikian, untuk selanjutnya dalam penulisan ini akan dipergunakan istilah civil society yang merujuk pada
pengertian civil society sendiri yang telah dijelaskan di muka, juga merujuk
pengertian masyarakat madani. Meskipun sejatinya dapat diulas lebih jauh
mengenai kedua peristilahan tersebut, akan tetapi dalam penulisan ini
dicukupkan untuk mengambil garis besar atau titik temu dari kedua konsep
tersebut di atas, yang mana keduanya secara prinsip mengandung arti suatu dimensi sosial kemasyarakatan di mana warga
masyarakatnya hidup dalam suasana tertib dan menjunjung tinggi hukum sebagai
suatu pedoman dalam menjalankan tata kehidupan bersama di antara mereka satu
sama lain.
C.
Negara
dan Prospek Civil Siciety di Indonesia
Seperti
halnya uraian mengenai civil society di
atas yang beragam seginya menurut beberapa pakar, negara pun memiliki varian
konsep yang beragam menurut para ahli. Keragaman tersebut paling tidak dapat
ditelusuri mulai dari teori asal mula negara, sampai teori kedaulatan negara.
Namun dalam tulisan ini tidak akan di bahas lebih jauh mengenai hakikat negara,
melainkan akan langsung fokus kepada pengalaman Indonesia mengenai hubungan
antara negara dengan civil society di
Indonesia.
Sepanjang
berdirinya Negara Indonesia, dapat dicatat adanya tiga era pemerintahan yang
berkuasa. Ketiga era pemerintahan tersebut ialah rezim orde lama di bawah
Soekarno, rezim orde baru di bawah Soeharto, dan orde atau era reformasi yang
hingga sekarang masih bertahan.
Pemberian
nomenklatur ketiga orde pemerintahan tersebut tidak didasarkan pada suatu
ketentuan hukum atau instrumen hukum tertentu, melainkan lebih pada pernyataan
politik para pemimpin di masanya atau penamaan dari para sejarawan dalm
berbagai kepustakaan sejarah tentang politik dan pemerintahan di Indonesia.
Namun demikian, ketiganya memiliki corak yang khas dalam menyelenggarakan tata
pemerintahan dan mengatur warga masyarakatnya berdasarkan hukum yang berlaku di
masanya, yang tentunya juga memiliki kekhasan tersendiri sebagai sebuah sistem
hukum.
Termasuk
dalam hal pengaturan mengenai suatu ruang publik, ketiga era pemerintahan di
atas juga memiliki corak tersendiri. Hal ini tentunya berimbas pula pada
perbedaan sifat, karakter dan bentuk aktivitas civil society pada ketiga masa tersebut.
Di
era orde lama di bawah kekuasaan Soekarno, hampir semua aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara masih sangat fluktuatif, yakni baik dari aspek ekonomi,
politik, hukum, dan sosial, serta pertahanan keamanan (hankam). Kondisi semacam
ini disebabkan oleh karena negara Indonesia baru memperoleh kemerdekaannya,
sehingga di usia yang masih sangat muda lumrah bila kondisi semacam inilah yang
nampak pada realitas kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Terutama
sekali pada masa-masa sebelum Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, gejala
fluktuatif khususnya di bidang politik kenegaraan terjadi secara ekstrim. Pada
masa ini konstitusi sebagai dasar pemerintahan negara mengalami beberapa kali
pergantian[15],
sistem pemerintahan presidensial pun berganti dengan parlementer seiring
perubahan konstitusi tersebut, dan di masa pemerintahan dengan sistem
parlementer itu kabinet pun mengalami jatuh-bangun.
Hal
yang menarik untuk diungkap ialah bahwa pada masa ini, sekalipun keadaan negara
Indonesia masih sangat labil sebagai negara yang baru dibentuk namun
pertumbuhan civil society dapat
dikatakan cukup tinggi, bahkan gejala ini nampak pada masa pra kemerdekaan.
Sehingga eksistensi civil society
pada masa pasca kemerdekaan dapat dikatakan sebagai suatu kelanjutan dari masa
sebelumnya, yakni pada masa kolonial.
Pada
masa kolonial, tumbuhnya kesadaran akan nasionalisme dalam tubuh civil society dan didukung oleh peran
pers sebagai sarana penyebaran gagasan sangatlah membantu segenap komunitas
pergerakan untuk membayangkan immagined
community-nya, yakni masyarakat Indonesia yang merdeka.[16]
Gejala inilah yang pada gilirannya
mendorong peran civil society untuk
tidak absen pada masa pasca kemerdekaan.
Bentuk
partisipasi civil society pada masa
pasca kemerdekaan memang dilakukan secara tidak langsung sesuai dengan
‘kodrat’-nya sebagai civil society.[17]
Namun baik dalam masa pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan peran civil society terus ada. Proposisinya, pertumbuhan
civil society yang sehat akan
mendorong terbentuknya masyarakat politik yang cukup kuat, dalam masa ini
masyarakat politik tumbuh dalam bentuk partai-partai politikyang telah memiliki
ide “Indonesia Merdeka.”[18]
Pada
masa-masa selanjutnya pun, terlihat pertumbuhan partai politik yang sangat
pesat di era pemerintahan Indonesia merdeka sebelum tahun 1959. Puncaknya ialah
pada saat pemiluhan umum tahun 1955 yang dikenal dengan pemilihan umum terbersih
dan bebas yang pertama kali terjadi di Indonesia.[19]
Hal
yang sangat disayangkan pasca dekrit presiden 1959, ialah pengangkatan Soekarno
sebagai Presiden seumur hidup, pembubaran konstituante, dan langkah-langkah
politik lain dari Soekarno yang mencerminkan corak pemerintahan
despotik-otoritarian.[20]
Pada titik inilah dirasa civil society kembali
mengalami hambatan dalam menjaga eksistensinya.
Setelah
berakhirnya era pemerintahan orde lama di bawah Soekarno, dimulailah
pemerintahan era orde baru di bawah Soeharto. Di bawah rezim Soeharto yang
berkuasa selama 32 tahun ini, civil
society seakan dibungkam dengan strategi korporatisme negara Soeharto.
Di
era orde baru diterapkan suatu kebijakan satu pintu terhadap fenomena
keberagaman aktifitas sosial di masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar negara
dapat mengontrol segala aktifitas masyarakat. Kebijakan semacam ini ditempuh
dengan alasan stabilitas politik dan pertahanan keamanan yang akan menopang
pembangunan, karena memang sektor yang menjadi fokus garapan oleh orde baru
ialah di bidang pembangunan.
Kebijakan
satu pintu tersebut diterapkan orde baru dengan membuat wadah-wadah bagi setiap
aktifitas kelompok-kelompok masyarakat, antara lain kelompok pemuda dihimpun
dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNIP), wartawan dihimpun dalam
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), para ulama dihimpun dalam Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dan sebagainya. Dengan melalui wadah-wadah bentukan negara
tersebut, negara dapat setiap saat mengawasi aktifitas kelompok masyarakat yang
ada di dalamnya, selain itu nega juga dapat melakukan intervensi dalam hal
pemilihan para calon pemimpin organisasi dan program-program kerja. Intinya
semua itu diadakan dengan tujuan stabilitas politik.
Di
samping dengan cara sebagaimana disebutkan di atas, negara juga melakukan
penyederhanaan partai-partai politik di Indonesia. Partai politik yang selama
ini menjadi penyalur aspirasi masyarakat, pada era orde baru ditekan
keberadaannya. Partai yang berhaluan Islam dilebur dalam Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), dan partai yang berhaluan nasionalis disatukan dalam wadah Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), partai politik kristen juga masuk ke dalam PDI,
sedangkan bagi para pegawai pemerintah dibuatkan wadah sebagai tempat
berorganisasi dan menyalurkan aspirasi dan kadang kala juga disebut sebagai
wadah “pergerakan” yakni berupa organisasi Golongan Karya. Peleburan
partai-partai politik ini dilakukan rezim orde baru pasca pemiluhan umum tahun
1971.
Dengan
cara-cara itulah pemerintah orde baru menjaga kestabilan politik dan
pertahanan-keamanan untuk menopang pembangunan. Dan dengan cara seperti itu
pula, praktis aktifitas civil society
mendapat ancaman yang serius karena tidak ada lagi free public sphere yang tersedia akibat intervensi pemerintah yang
terlalu intens terhadap kehidupan privat masyarakatnya.
Satu
hal yang menjadi catatan penting terkait dengan kehidupan civil society di era orde baru adalah munculnya peran Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) sebagai pendorong demokratisasi. Dan melalui LBH ini pula masyarakat
sipil menemukan ruang untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai masyarakat negara
yang bebas dan memiliki martabat untuk tidak terlalu diintervensi oleh negara.[21]
Dalam
konteks ini disaat partai politik tak mampu melaksanakan perannya, LBH memainkan
peran yang strategis bagi pemberdayaan civil
society melalui pendekatan lain dari yang biasa dilakaukan partai politik.
LBH memainkan perannya di aspek hukum baik litigasi maupun non litigasi, yakni
melakukan advokasi dan juga pembelaan masyarakat yang pada masa itu sangat
sering sekali mengalami gesekan kepentingan dengan pemerintah. Namun demikian,
toh pada akhirnya LBH juga dinilai banyak pihak memainkan peran yang bercorak
politis juga, yakni dengan mengumpulkan masa dan mendorong terciptanya demonstrasi
yang memprotes kebijakan represif pemerintah orde baru.
Demikian
sekilas pengalaman pada dua era pemerintahan di Indonesia sebelum reformasi
terkait dengan eksistensi civil society
di Indonesia. Pada prinsipnya ruang publik akan selalu ada sekalipun rezim
otoritarian berusaha dengan sekeras-kerasnya untuk menutup akses-akses yang
menuju kepadanya.
Pengalaman
pada dua era pemerintahan di Indonesia pra reformasi tersebut akan nampak
berbeda dengan kondisi pasca reformasi terkait dengan eksistensi civil society. Pasca runtuhnya rezim
orde baru di bawah Soeharto pada tahun 1998, masyarakat menghendaki adanya
reformasi di segala bidang kehidupan, termasuk di bidang sosial, politik, ekonomi
dan ketatanegaraan.
Meskipun
sebenarnya apa yang dicita-citakan dalam era reformasi belum juga menunjukan
wujud nyata hingga sekarang, akan tetapi setidaknya dapat dikatakan “mendingan”
apabila dibandingkan dengan dua era pemerintahan otoritarian di bawah kekuasaan
Soekarno dan Soeharto. Pada masa reformasi pembenahan demi pembenahan terkait
upaya pemberdayaan civil society terus
dilakukan. Dan hal yang demikian ini tidak lepas juga karena adanya tuntutan
dan tekanan yang terus-menerus dari masyarakat sendiri yang mengendaki
hak-haknya dijamin oleh negara.[22]
Dalam
era kehidupan liberal pasca reformasi, berbagai gerakan massa bermunculan
dengan berbagai format. Beberapa diantaranya mewujud dalam LSM,
komunitas-komunitas, organisasi kemasyarakatan (ornop) dan tentunya dalam
tingkat masyarakat politik muncul berbagai partai politik baru.[23]
Masing-masing bentuk pergerakan tersebut tentunya memiliki fokus dan visi yang
beragam, dan hal inilah yang disatu sisi menjadi kekuatan dari civil society namun di sisi lain juga
berpotensi menjadi hambatan bagi pemerintah dalam menjalankan agenda kerja
pemerintahan. Bahkan dimungkinkan muncul beberapa visi gerakan sekelompok
masyarakat yang bertentangan secara radikal dengan cita-cita dibentuknya negara
Indonesia itu sendiri.
Namun
demikian, bagaimanapun juga ekses-ekses sebagaimana disebutkan di atas akan
selalu timbul seiringan dengan timbulnya gerakan massa. Dan sesungguhnya sejak
era pemerintahan terdahulu pun ekses-ekses dari gerakan masa sudah dapat
ditemukan, termasuk gerakan pribumi yang menentang kolonialisme Belanda
terhadap nusantara. Dan bila demikian adanya, sesungguhnya Indonesia pun ada
berkat ekses yang timbul dari pergerakan masa yang bertentangan dengan kehendak
pemerintah pada saat itu, yakni pemerintah kolonial Hindia Belanda.
PENUTUP
Kehadiran
suatu ruang publik dalam konteks kehidupan bernegara merupakan sebuah
keniscayaan. Bagaimanapun juga ruang publik akan senantiasa menyertai
eksistensi setiap kelompok masyarakat.
Pengalaman
di Indonesia setidaknya telah menunjukan bagaimana ruang publik itu terus
berusaha muncul menyertai setiap langkah kkehidupan masyarakat Indonesia,
siapapun yang berkuasa dan bagaimanapun model pemerintahannya. Hal yang
demikian ini setidaknya menarik untuk menjadi bahan kontemplasi bersama
mengenai bagaimana hakikat keberadaan masyarakat terhadap negara. Semua itu
tidak lain karena fenomena empiris yang telah terjadi di Indonesia sejak masa
pra kemerdekaan sampai pada masa pasca kemerdekaan dan era pemerintahan
reformasi seperti saat ini, civil society
selalu mengambil peran yang fundamental dan keberadaannya merupakan suatu
keniscayaan.
Bagaimanapun
juga, suatu masyarakat dapat dikatakan beradab apabila setiap unsurnya dapat
secara dewasa menyikapi segala fenomena kehidupan dan tunduk pada
kesepakatan-kesepakatan yang telah dibangun sebagai manifest dari jiwa kesatria
dan keluhuran manusia yang hanif. Dengan demikian pula, memaknai segala
perbedaan dalam berbagai golongan masyarakat sebagai suatu realitas yang tidak
mungkin dihindari merupakan suatu sikap egaliter yang penuh kedewasaan.
Hal
tersebut sudah selayaknya tertanam dalam setiap jiwa manusia Indonesia supaya
tidak lagi kaku dalam menghadapi pluralitas yang menjadi kodratnya. Hanya saja
dalam menghadapi segala bentuk perbedaan tersebut tetap mensyaratkan adanya
“pekokoh” sebagai landas-pijak kehidupan bersama supaya tertib teratur dan
menjamin setiap individu tetap dalam rasa nyaman, tentram dan damai.
Dalam konteks kehidupan
bernegara, tetaplah konstitusi atau hukum dasar merupakan landas-pijak dalam
penyelenggaraan negara, dan menjamin hak-hak sipil. Dan negara dengan segala
alat kelengkapannya berwajib untuk membimbing dan mengarahkan masyarakat menuju
cita-cita bersama yang telah disepakati. Bilamana suatu ketika terjadi
perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip dasar tersebut, maka jalan
konstitusional-lah yang merupakan jalan mulia dan beradap untuk menyelesaikan
persoalan dan semestinya ditempuh serta dijunjung tinggi sebagai wujud
peradaban yang telah maju.
[1] Adi Suyadi Culla, Rekonstruksi
Civil Society Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: Penerbit Pustaka
LP3ES Indonesia, 2006), hlm. 2.
[2] Ibid., hlm. 12.
[3] Penjelasan mengenai kecenderungan studi politik tersebut lihat: Hasyim Asy’ari, LBH Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society di Indonesia 1971-1996
(Jakarta: Pensil-324, 2010), hlm. 1-2.
[4] M. Dawam Rahardjo, Masyarakat
Madani: Agama, Kelas Menngah dan Perubahan Sosial (Jakarta: Penerbit
Kepustakaan LP3ES Indonesia, 1999), hlm. 137.
[5] Loc. cit.
[6] Op. cit., hlm. 142.
[7] Loc. cit.
[8] Loc. cit.
[9] Op. cit., hlm. 143.
[10] Op. cit., hlm. 145.
[11] Op. cit., hlm. 146.
[12] Muhammad Jamal al-Din Surur dalam Dahlan Thaib, dkk., Teori dan Hukum Konstitusi (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada,2004), hlm., 32.
[13] Ibid., hlm., 33.
[14]Kata al-din, yang umumnya
diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan makna al tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu dalam pengertian al
madinah (mufrad) atau al-mada’in (jamak)
artinya kota. Dan di dalam Al Quran, istilah yang bermakna kota tidak hanya
diwakili oleh sati kata (al-madinah),
kata al qaryah dan al balad juga bermakna kota, walaupun
keduanya juga sering diterjemahkan sebagai negeri. Akan tetapi dalam perkataan
negeri pun terdapat pengertian peradaban dan kebudayaan. Lihat : M. Dawan
Rahardjo, Op. cit., hlm. 146.
[15] Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia ialah UUD 1945 (disahkan
18 agustus 1945), UUD Republik Indonesia Sekritkat atau konstitusi RIS
(disahkan 27 Desember 1949 ), dan UUD Sementara 1950 (disahkan 18 Agustus 1950).
[16] Hasyim Asy’ari, Op. cit., hlm.,
80-81.
[17] Secara umum dibedakan antara masyarakat politik dan civil siciety. Masyarakat politik ialah
[18] Hasyim Asy’ari, Op. cit., hlm., 81.
[19] Herbert Feith dalam Hasyim Asy’ari, Loc. cit.
[20] Beberapa hal tersebut justru mencoreng pemerintahan era Soekarno, ditambah
lagi DPRS bentukan Soekarno yang seakan hanya berfungsi sebagai “tukang
legalisir” kebijakan Soekarno membuat aktifitas masyarakat yang mencirikan civil society seakan vakum.
[21] Lihat Hasyim Asy’ari, LBH
Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil society (Jakarta: Pensil 324, 2010),
buku ini merupakan tesis-nya pada
saat menempuh studi magister di
Universitas Gadjah Mada.
[22] Hal nyata yang paling mencolok dalam upaya penjaminan terhadap hak-hak
masyarakat sipil ialah dengan diamandemennya UUD 1945 yang kemudian memasukan
10 pasal baru tentang hak warga negara..
[23] Data dari Wikipedia menunjukan pada pemilu 1955 diikuti oleh 172
kontestan partai politik dengan empat partai dengan perolehan suara terbesar
secara berurutan ialah PNI (22,3%), Masyumi (20,9%), NU (18,4%), dan PKI
(15,4%); pemilu tahun 1971 diikuti oleh 10 kontestan partai politik termasuk
Golkar yang pada saat itu belum berstatus sebagai partai politik; pemilu
1977,1982,1987,1992, dan 1997 diikuti oleh tiga kontestan, yaitu Golkar (bukan
partai politik), PDI, dan PPP; pemilu tahun 1999 diikuti 48 kontestan partai
politik termasuk Partai Golkar yang telah berstatus sebagai partai politik;
pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik; pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai
politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh; pemilu tahun 2014 diikuti
oleh 12 partai politik nasional dan 3 partai lokal Aceh. Sumber: http://wikipedia.org/wiki/daftar_partai_politik_di_indonesia.
Diakses pada tanggal 9 November 2014.
0 comments