Saturday 22 November 2014

Civil Society dan Masyarakat Madani: Diskursus Tentang Ruang Publik

Civil Society dan Masyarakat Madani:
Diskursus Tentang Ruang Publik
Oleh
Dwi Ilham Setyawan[1]


[1] Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, dengan konsentrasi bidang minat Hukum Tata Negara.
gambar diambil dari http://static.ibnlive.in.com/ibnlive/pix/sitepix/07_2011/civil-society-180711.jpg

Selama ini istilah civil society dan masyarakat madani seringkali dipadankan, yakni suatu konsep mengenai suatu masyarakat yang relatif otonom atau mandiri dari negara, dan saling terintegrasi terlepas dari sekat-sekat agama, ras, suku, dan etnis. Namun sebagai suatu realitas sosial-politik, free public sphere yang diisi oleh jenis masyarakat atau komunitas tersebut di atas perlu untuk dipahami secara mendalam mengenai hakikat, konsepsi, dan aktualisasinya dalam konteks bangunan negara tertentu di mana ia ada di dalamnya. Hal ini tidak lain ialah agar tercipta suatu kondusifitas antara tata pemerintahan oleh negara dan kehendak nyata dari masyarakat, terutama dalam level grassroot.

PENDAHULUAN
Usaha manusia untuk berpikir mengenai konsep negara dan masyarakat telah dititi sejak berabad-abad lalu. Dalam kepustakaan barat, dikatakan bahwa tonggak pemikiran yang menyoal hal demikian ialah di masa peradaban para filsuf Yunani Kuno “berueforia” dalam intelektualitas mereka, dan hal tersebut terus berlanjut hingga abad pertengahan, abad modern, dan post-modern saat ini. Namun demikian, tidak cukuplah hal tersebut memuaskan hasrat berpikir dari manusia tentang konsep, ide, dan cita-cita tentang negara dan masyarakat, lebih-lebih dalam alam kenyataan (das sein) ide-ide yang bertebaran tersebut belum juga mampu mengkonstruksi tatanan sosial yang benar-benar mewujudkan masyarakat yang “tata tentrem kerta raharja.”
Suatu sisi pemikiran mengenai hubungan negara dan masyarakat yang hingga saat ini masih debatable di kalangan intelektual dan pemikir-pemikir ilmu sosial dan politik ialah mengenai konsep dari pada civil society dan masyarakat madani. Keduanya sering dipahami sebagai suatu padanan kata untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang telah maju (berkeadaban), otonom, berkembang, dan saling terintegrasi antar anggotanya. Kedua istilah tersebut juga sering dismakan dengan istilah masyarakat sipil.
Namun demikian, sebagaimana telah disinggung di atas bahwa peristilahan civil society secara an sich masih mengandung polemik.[1] Bahkan dikatakan oleh Adi Suryadi Culla, bahwa sampai saat ini khususnya di Indonesia belum banyak kepustakaan yang mengulas tentang “masyarakat sipil” dalam perspektif ilmu politik.[2]
Kiranya kajian terhadap dua peristilahan tersebut diatas, yakni civil society dan masyarakat madani, perlu untuk diadakan terutamanya untuk menentukan proyeksi kedepan dalam membangun dinamika hubungan antara negara dan masyarakatnya. Mengingat di setiap negara selalu terdapat potensi terjadinya distorsi atas kekuasaannya terhadap warga masyarakat, maka menjadi suatu prasyarat bagi setiap warga masyarakat yang ingin maju untuk mengetahui hakikat keberadaannya terhadap negara.
Oleh karena output kajian yang demikian, maka penyelidikan yang dilakukan haruslah berupaya untuk menyeimbangkan antara kecenderungan studi yang society-centered dan state-centered.[3] Hal ini tiada lain dimaksudkan agar dapat diperoleh perimbangan cara pandang terhadap suatu permasalahan guna menemukan sebaik-baiknya kesimpulan untuk mencapai tujuan dari kajian yang diadakan.

PEMBAHASAN
A.    Civil Society
Istilah civil society pertama muncul dari ajaran seorang orator dan pujangga  Roma yang hidup dalam abad pertama sebelum Kristus (Before Christ), yakni pada tahun 106 SM, bernama Cicero.[4] Istilah awal yang digunakan oleh Cicero ialah civilis societas, yang bermakna sebuah masyarakat yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup.[5] Pengertian yang diberikan oleh Cicero ini mengacu pada gejala budaya perorangan dan masyarakat pada saat itu, yakni pada zaman Romawi. Hal ini dapat dimengerti dimana pada zaman kekuasaan imperium Romawi, tata pergaulan orang-orang yang hidup di kota-kota diatur oleh suatu hukum tertulis sebagai mana konsep hukum yang berkembang dalam tradisi civil law. Perlu ditambahkan, dalam konsep ini Cicero beranggapan bahwa  masyarakat yang hidup di luar kota dianggapnya sebagai masyarakat yang tidak beradab (barbarian) karena belum diatur oleh hukum.
Berlanjut ke zaman modern, istilah civil society kembali dihidupkan oleh John Locke (1632-1704), seorang filsuf berkebangsaan Inggris, dan J.J. Rosseau (1712-1778), seorang filsuf dari Perancis. Secara garis besar, baik John Locke maupun J.J. Rosseau mendefinisikan civil society sebagai suatu masyarakat politik yang telah berkeadaban, telah mengikatkan diri pada penguasa yang mendapat legitimasi rakyat (teori kontrak sosial), dan masyarakat yang terikat oleh adanya hukum penguasa.[6]
Konsep civil society  dari John Locke dan J.J Rosseau tersebut bertolak dari gejala alami (parental authorithy) suatu kelompok manusia. Dengan demikian keduanya mengandaikan bahwa sebelum masa civil society , masyarakat telah hidup dalam kondisi alamiahnya yang tanpa aturan (tanpa hukum dari penguasa) dan tidak adanya kekuasaan dari otoritas yang sah (tidak ada negara atau pemerintahan). Selanjutnya pemikiran mengenai civil society yang demikian ini diikuti pula oleh Adam Smith, kesemua pemikir di atas berada dalam suatu perspektif yang mengidealisasikan civil society sebagai hasil perkembangan masyarakat pada tataran yang telah maju.[7]
Kemudian Karl Marx dan Friederich Hegel pun juga menuangkan pemikirannya mengenai civil society. Marx dan Hegel memiliki corak yang hampir sama dalam menyikapi civil society, keduanya memandang bahwa benar civil society itu merupakan taraf yang lebih jauh dan maju dari perkembangan kehidupan manusia, akan tetapi di dalam masyarakat yang demikian ini sangat berpotensi menimbulkan konflik karena tiap individu saling memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Akhirnya mereka pun mengidealisasikan negara sebagai entitas yang mampu meredam konflik-konflik tersebut, bahkan Hegel menyatakan bahwa negara merupakan penubuhan segala nilai kebaikan.[8]
Meski berada pada barisan ide besar “kaum kiri”, namun Antonio Gramsci memiliki pandangan yang berbeda dari Marx dan Hegel. Bagi Gramsci, civil society bukan hanya melayani kepentingan individu, namun juga kelompok atau organisasi-organisasi. Dan pada gilirannya civil society dapat menjadi benteng  dari hegemoni kelas borjuis dan akhirnya menjadi pendukung negara. Di sini adapun peran negara, yakni sebagai otoritas yang mendidik civil society dan mengarahkan perkembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.[9]
Demikianlah tinjauan umum mengenai konsep civil society dari beberapa tokoh. Terlihat bahwa dalam kemunculannya, civil society telah hadir secara “built-in” dengan corak yang lebih Euro-sentris.

B.     Masyarakat Madani
Istilah masyarakat madani pertama kali diperkenalkan oleh P.M. Malaysia pada dasawarsa 90-an, Anwar Ibrahim, dalam sebuah acara diskursus akademis bernama Festival Istiqlal pada tahun 1995.[10] Di Malaysia, yang kemudian diikuti oleh Indonesia, pengertian masyarakat madani sekilas merujuk pada konsep civil society dari Cicero, yang pada intinya menggambarkan suatu komunitas politik yang beradab.[11]
Dalam perspektif Islam, masyarakat madani lebih mengacu pada penciptaan peradaban. Titik tolak yang kerap dijadikan acuan ialah ketika Muhammad SAW (bersama rombongan umat Islam Mekah) melakukan migrasi dari Mekah ke Yatsrib, tak lama setelah migrasi tersebut ia membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama baik antar masyarakat di Yatsrib yang cukup plural ketika itu (yakni terdapat golongan Islam, Yahudi, Nasrani, dan penganut kepercayaan kuno), serta antara penduduk Yatsrib dengan para pengikutnya dari Mekah. Ia memandang perlu membuat meletakkan aturan pokok tata kehidupan bersama di Yatsrib, agar terbentuk kesatuan hidup di antara seluruh penghuninya.[12]
Aturan pokok tata kehidupan bersama yang diusulkan Muhammad SAW tersebut setelah mendapatkan persetujuan bersama, ditulis dalam suatu naskah yang disebut Al-Shahifah. Menurut Ahmad Sukardja kata shahifah  semakna dengan charter  dan piagam.[13]
Ditetapkannya piagam politik tersebut merupakan suatu upaya agar masyarakat yang relatif plural atau heterogen di kota Yatsrib dapat hidup bersama secara tertib, harmonis dan saling menjaga satu sama lain berdasarkan aturan yang telah disepakati dalam Al-Shahifah.Mengenai kapan tepatnya pembuatan dokumen tersebut, masih terjadi perdebatan dikalangan ahli termasuk para orientalis. Sebagian menyatakan bahwa Piagam Madinah dibuat sebelum perang Badr dan sebagian yang lain menyatakan dibuat setelah perang Badr.
Terlepas dari perdebatan mengenai waktu pembuatan Piagam Madinah, dengan demikian dapat digaris bawahi bahwa tata kehidupan masyarakat di Yatsrib di bawah tata hukumnya yang tertuang dalam Al-Shahifah, yang menjadi rujukan munculnya istilah masyarakat madani, mempunyai kesamaan karakteristik dengan konsep civil society. Hanya saja dalam konsep Cicero, masyarakat yang berdiam di luar kota atau di luar negara Roma dianggap sebagai masyarakat yang tak beradab, dan hanya masyarakat yang tinggal di dalam kota atau di dalam negeri Roma-lah yang dianggap beradab, sedangkan konsep masyarakat madani jika merujuk pada terminologi dalam islam akan memberi arti pada setiap daerah yang dihuni masyarakat sebagai suatu peradaban.[14]
Dengan demikian, untuk selanjutnya dalam penulisan ini akan dipergunakan istilah civil society yang merujuk pada pengertian  civil society sendiri  yang telah dijelaskan di muka, juga merujuk pengertian masyarakat madani. Meskipun sejatinya dapat diulas lebih jauh mengenai kedua peristilahan tersebut, akan tetapi dalam penulisan ini dicukupkan untuk mengambil garis besar atau titik temu dari kedua konsep tersebut di atas, yang mana keduanya secara prinsip mengandung arti suatu  dimensi sosial kemasyarakatan di mana warga masyarakatnya hidup dalam suasana tertib dan menjunjung tinggi hukum sebagai suatu pedoman dalam menjalankan tata kehidupan bersama di antara mereka satu sama lain.

C.    Negara dan Prospek Civil Siciety di Indonesia
Seperti halnya uraian mengenai civil society di atas yang beragam seginya menurut beberapa pakar, negara pun memiliki varian konsep yang beragam menurut para ahli. Keragaman tersebut paling tidak dapat ditelusuri mulai dari teori asal mula negara, sampai teori kedaulatan negara. Namun dalam tulisan ini tidak akan di bahas lebih jauh mengenai hakikat negara, melainkan akan langsung fokus kepada pengalaman Indonesia mengenai hubungan antara negara dengan civil society di Indonesia.
Sepanjang berdirinya Negara Indonesia, dapat dicatat adanya tiga era pemerintahan yang berkuasa. Ketiga era pemerintahan tersebut ialah rezim orde lama di bawah Soekarno, rezim orde baru di bawah Soeharto, dan orde atau era reformasi yang hingga sekarang masih bertahan.
Pemberian nomenklatur ketiga orde pemerintahan tersebut tidak didasarkan pada suatu ketentuan hukum atau instrumen hukum tertentu, melainkan lebih pada pernyataan politik para pemimpin di masanya atau penamaan dari para sejarawan dalm berbagai kepustakaan sejarah tentang politik dan pemerintahan di Indonesia. Namun demikian, ketiganya memiliki corak yang khas dalam menyelenggarakan tata pemerintahan dan mengatur warga masyarakatnya berdasarkan hukum yang berlaku di masanya, yang tentunya juga memiliki kekhasan tersendiri sebagai sebuah sistem hukum.
Termasuk dalam hal pengaturan mengenai suatu ruang publik, ketiga era pemerintahan di atas juga memiliki corak tersendiri. Hal ini tentunya berimbas pula pada perbedaan sifat, karakter dan bentuk aktivitas civil society pada ketiga masa tersebut.
Di era orde lama di bawah kekuasaan Soekarno, hampir semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara masih sangat fluktuatif, yakni baik dari aspek ekonomi, politik, hukum, dan sosial, serta pertahanan keamanan (hankam). Kondisi semacam ini disebabkan oleh karena negara Indonesia baru memperoleh kemerdekaannya, sehingga di usia yang masih sangat muda lumrah bila kondisi semacam inilah yang nampak pada realitas kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Terutama sekali pada masa-masa sebelum Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, gejala fluktuatif khususnya di bidang politik kenegaraan terjadi secara ekstrim. Pada masa ini konstitusi sebagai dasar pemerintahan negara mengalami beberapa kali pergantian[15], sistem pemerintahan presidensial pun berganti dengan parlementer seiring perubahan konstitusi tersebut, dan di masa pemerintahan dengan sistem parlementer itu kabinet pun mengalami jatuh-bangun.
Hal yang menarik untuk diungkap ialah bahwa pada masa ini, sekalipun keadaan negara Indonesia masih sangat labil sebagai negara yang baru dibentuk namun pertumbuhan civil society dapat dikatakan cukup tinggi, bahkan gejala ini nampak pada masa pra kemerdekaan. Sehingga eksistensi civil society pada masa pasca kemerdekaan dapat dikatakan sebagai suatu kelanjutan dari masa sebelumnya, yakni pada masa kolonial.
Pada masa kolonial, tumbuhnya kesadaran akan nasionalisme dalam tubuh civil society dan didukung oleh peran pers sebagai sarana penyebaran gagasan sangatlah membantu segenap komunitas pergerakan untuk membayangkan immagined community-nya, yakni masyarakat Indonesia yang merdeka.[16] Gejala  inilah yang pada gilirannya mendorong peran civil society untuk tidak absen pada masa pasca kemerdekaan.
Bentuk partisipasi civil society pada masa pasca kemerdekaan memang dilakukan secara tidak langsung sesuai dengan ‘kodrat’-nya sebagai civil society.[17] Namun baik dalam masa pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan peran civil society terus ada. Proposisinya, pertumbuhan civil society yang sehat akan mendorong terbentuknya masyarakat politik yang cukup kuat, dalam masa ini masyarakat politik tumbuh dalam bentuk partai-partai politikyang telah memiliki ide “Indonesia Merdeka.”[18]
Pada masa-masa selanjutnya pun, terlihat pertumbuhan partai politik yang sangat pesat di era pemerintahan Indonesia merdeka sebelum tahun 1959. Puncaknya ialah pada saat pemiluhan umum tahun 1955 yang dikenal dengan pemilihan umum terbersih dan bebas yang pertama kali terjadi di Indonesia.[19]
Hal yang sangat disayangkan pasca dekrit presiden 1959, ialah pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, pembubaran konstituante, dan langkah-langkah politik lain dari Soekarno yang mencerminkan corak pemerintahan despotik-otoritarian.[20] Pada titik inilah dirasa civil society kembali mengalami hambatan dalam menjaga eksistensinya.
Setelah berakhirnya era pemerintahan orde lama di bawah Soekarno, dimulailah pemerintahan era orde baru di bawah Soeharto. Di bawah rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun ini, civil society seakan dibungkam dengan strategi korporatisme negara Soeharto.
Di era orde baru diterapkan suatu kebijakan satu pintu terhadap fenomena keberagaman aktifitas sosial di masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar negara dapat mengontrol segala aktifitas masyarakat. Kebijakan semacam ini ditempuh dengan alasan stabilitas politik dan pertahanan keamanan yang akan menopang pembangunan, karena memang sektor yang menjadi fokus garapan oleh orde baru ialah di bidang pembangunan.
Kebijakan satu pintu tersebut diterapkan orde baru dengan membuat wadah-wadah bagi setiap aktifitas kelompok-kelompok masyarakat, antara lain kelompok pemuda dihimpun dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNIP), wartawan dihimpun dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), para ulama dihimpun dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan sebagainya. Dengan melalui wadah-wadah bentukan negara tersebut, negara dapat setiap saat mengawasi aktifitas kelompok masyarakat yang ada di dalamnya, selain itu nega juga dapat melakukan intervensi dalam hal pemilihan para calon pemimpin organisasi dan program-program kerja. Intinya semua itu diadakan dengan tujuan stabilitas politik.
Di samping dengan cara sebagaimana disebutkan di atas, negara juga melakukan penyederhanaan partai-partai politik di Indonesia. Partai politik yang selama ini menjadi penyalur aspirasi masyarakat, pada era orde baru ditekan keberadaannya. Partai yang berhaluan Islam dilebur dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan partai yang berhaluan nasionalis disatukan dalam wadah Partai Demokrasi Indonesia (PDI), partai politik kristen juga masuk ke dalam PDI, sedangkan bagi para pegawai pemerintah dibuatkan wadah sebagai tempat berorganisasi dan menyalurkan aspirasi dan kadang kala juga disebut sebagai wadah “pergerakan” yakni berupa organisasi Golongan Karya. Peleburan partai-partai politik ini dilakukan rezim orde baru pasca pemiluhan umum tahun 1971.
Dengan cara-cara itulah pemerintah orde baru menjaga kestabilan politik dan pertahanan-keamanan untuk menopang pembangunan. Dan dengan cara seperti itu pula, praktis aktifitas civil society mendapat ancaman yang serius karena tidak ada lagi free public sphere yang tersedia akibat intervensi pemerintah yang terlalu intens terhadap kehidupan privat masyarakatnya.
Satu hal yang menjadi catatan penting terkait dengan kehidupan civil society di era orde baru adalah munculnya peran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai pendorong demokratisasi. Dan melalui LBH ini pula masyarakat sipil menemukan ruang untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai masyarakat negara yang bebas dan memiliki martabat untuk tidak terlalu diintervensi oleh negara.[21]
Dalam konteks ini disaat partai politik tak mampu melaksanakan perannya, LBH memainkan peran yang strategis bagi pemberdayaan civil society melalui pendekatan lain dari yang biasa dilakaukan partai politik. LBH memainkan perannya di aspek hukum baik litigasi maupun non litigasi, yakni melakukan advokasi dan juga pembelaan masyarakat yang pada masa itu sangat sering sekali mengalami gesekan kepentingan dengan pemerintah. Namun demikian, toh pada akhirnya LBH juga dinilai banyak pihak memainkan peran yang bercorak politis juga, yakni dengan mengumpulkan masa dan mendorong terciptanya demonstrasi yang memprotes kebijakan represif pemerintah orde baru.
Demikian sekilas pengalaman pada dua era pemerintahan di Indonesia sebelum reformasi terkait dengan eksistensi civil society di Indonesia. Pada prinsipnya ruang publik akan selalu ada sekalipun rezim otoritarian berusaha dengan sekeras-kerasnya untuk menutup akses-akses yang menuju kepadanya.
Pengalaman pada dua era pemerintahan di Indonesia pra reformasi tersebut akan nampak berbeda dengan kondisi pasca reformasi terkait dengan eksistensi civil society. Pasca runtuhnya rezim orde baru di bawah Soeharto pada tahun 1998, masyarakat menghendaki adanya reformasi di segala bidang kehidupan, termasuk di bidang sosial, politik, ekonomi dan ketatanegaraan.
Meskipun sebenarnya apa yang dicita-citakan dalam era reformasi belum juga menunjukan wujud nyata hingga sekarang, akan tetapi setidaknya dapat dikatakan “mendingan” apabila dibandingkan dengan dua era pemerintahan otoritarian di bawah kekuasaan Soekarno dan Soeharto. Pada masa reformasi pembenahan demi pembenahan terkait upaya pemberdayaan civil society terus dilakukan. Dan hal yang demikian ini tidak lepas juga karena adanya tuntutan dan tekanan yang terus-menerus dari masyarakat sendiri yang mengendaki hak-haknya dijamin oleh negara.[22]
Dalam era kehidupan liberal pasca reformasi, berbagai gerakan massa bermunculan dengan berbagai format. Beberapa diantaranya mewujud dalam LSM, komunitas-komunitas, organisasi kemasyarakatan (ornop) dan tentunya dalam tingkat masyarakat politik muncul berbagai partai politik baru.[23] Masing-masing bentuk pergerakan tersebut tentunya memiliki fokus dan visi yang beragam, dan hal inilah yang disatu sisi menjadi kekuatan dari civil society namun di sisi lain juga berpotensi menjadi hambatan bagi pemerintah dalam menjalankan agenda kerja pemerintahan. Bahkan dimungkinkan muncul beberapa visi gerakan sekelompok masyarakat yang bertentangan secara radikal dengan cita-cita dibentuknya negara Indonesia itu sendiri.
Namun demikian, bagaimanapun juga ekses-ekses sebagaimana disebutkan di atas akan selalu timbul seiringan dengan timbulnya gerakan massa. Dan sesungguhnya sejak era pemerintahan terdahulu pun ekses-ekses dari gerakan masa sudah dapat ditemukan, termasuk gerakan pribumi yang menentang kolonialisme Belanda terhadap nusantara. Dan bila demikian adanya, sesungguhnya Indonesia pun ada berkat ekses yang timbul dari pergerakan masa yang bertentangan dengan kehendak pemerintah pada saat itu, yakni pemerintah kolonial Hindia Belanda.


PENUTUP
Kehadiran suatu ruang publik dalam konteks kehidupan bernegara merupakan sebuah keniscayaan. Bagaimanapun juga ruang publik akan senantiasa menyertai eksistensi setiap kelompok masyarakat.
Pengalaman di Indonesia setidaknya telah menunjukan bagaimana ruang publik itu terus berusaha muncul menyertai setiap langkah kkehidupan masyarakat Indonesia, siapapun yang berkuasa dan bagaimanapun model pemerintahannya. Hal yang demikian ini setidaknya menarik untuk menjadi bahan kontemplasi bersama mengenai bagaimana hakikat keberadaan masyarakat terhadap negara. Semua itu tidak lain karena fenomena empiris yang telah terjadi di Indonesia sejak masa pra kemerdekaan sampai pada masa pasca kemerdekaan dan era pemerintahan reformasi seperti saat ini, civil society selalu mengambil peran yang fundamental dan keberadaannya merupakan suatu keniscayaan.
Bagaimanapun juga, suatu masyarakat dapat dikatakan beradab apabila setiap unsurnya dapat secara dewasa menyikapi segala fenomena kehidupan dan tunduk pada kesepakatan-kesepakatan yang telah dibangun sebagai manifest dari jiwa kesatria dan keluhuran manusia yang hanif. Dengan demikian pula, memaknai segala perbedaan dalam berbagai golongan masyarakat sebagai suatu realitas yang tidak mungkin dihindari merupakan suatu sikap egaliter yang penuh kedewasaan.
Hal tersebut sudah selayaknya tertanam dalam setiap jiwa manusia Indonesia supaya tidak lagi kaku dalam menghadapi pluralitas yang menjadi kodratnya. Hanya saja dalam menghadapi segala bentuk perbedaan tersebut tetap mensyaratkan adanya “pekokoh” sebagai landas-pijak kehidupan bersama supaya tertib teratur dan menjamin setiap individu tetap dalam rasa nyaman, tentram dan damai.
Dalam konteks kehidupan bernegara, tetaplah konstitusi atau hukum dasar merupakan landas-pijak dalam penyelenggaraan negara, dan menjamin hak-hak sipil. Dan negara dengan segala alat kelengkapannya berwajib untuk membimbing dan mengarahkan masyarakat menuju cita-cita bersama yang telah disepakati. Bilamana suatu ketika terjadi perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip dasar tersebut, maka jalan konstitusional-lah yang merupakan jalan mulia dan beradap untuk menyelesaikan persoalan dan semestinya ditempuh serta dijunjung tinggi sebagai wujud peradaban yang telah maju.


[1] Adi Suyadi Culla, Rekonstruksi Civil Society Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia, 2006), hlm. 2.
[2] Ibid., hlm. 12.
[3] Penjelasan mengenai kecenderungan studi politik tersebut lihat:  Hasyim Asy’ari, LBH Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society di Indonesia 1971-1996 (Jakarta: Pensil-324, 2010), hlm. 1-2.
[4] M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menngah dan Perubahan Sosial (Jakarta: Penerbit Kepustakaan LP3ES Indonesia, 1999), hlm. 137.
[5] Loc. cit.
[6] Op. cit., hlm. 142.
[7] Loc. cit.
[8] Loc. cit.
[9] Op. cit., hlm. 143.
[10] Op. cit., hlm. 145.
[11] Op. cit., hlm. 146.
[12] Muhammad Jamal al-Din Surur dalam Dahlan Thaib, dkk., Teori dan Hukum Konstitusi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2004), hlm., 32.
[13] Ibid., hlm., 33.
[14]Kata al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan makna al tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu dalam pengertian  al madinah (mufrad) atau al-mada’in (jamak) artinya kota. Dan di dalam Al Quran, istilah yang bermakna kota tidak hanya diwakili oleh sati kata (al-madinah), kata al qaryah dan al balad juga bermakna kota, walaupun keduanya juga sering diterjemahkan sebagai negeri. Akan tetapi dalam perkataan negeri pun terdapat pengertian peradaban dan kebudayaan. Lihat : M. Dawan Rahardjo, Op. cit., hlm. 146.
[15] Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia ialah UUD 1945 (disahkan 18 agustus 1945), UUD Republik Indonesia Sekritkat atau konstitusi RIS (disahkan 27 Desember 1949 ), dan UUD Sementara 1950 (disahkan 18 Agustus 1950).
[16] Hasyim Asy’ari, Op. cit., hlm., 80-81.
[17] Secara umum dibedakan antara masyarakat politik dan civil siciety. Masyarakat politik ialah
[18] Hasyim Asy’ari, Op. cit., hlm., 81.
[19] Herbert Feith dalam Hasyim Asy’ari, Loc. cit.
[20] Beberapa hal tersebut justru mencoreng pemerintahan era Soekarno, ditambah lagi DPRS bentukan Soekarno yang seakan hanya berfungsi sebagai “tukang legalisir” kebijakan Soekarno membuat aktifitas masyarakat yang mencirikan civil society seakan vakum.
[21] Lihat Hasyim Asy’ari, LBH Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil society (Jakarta: Pensil 324, 2010), buku ini merupakan tesis-nya pada saat menempuh studi magister di Universitas Gadjah Mada.
[22] Hal nyata yang paling mencolok dalam upaya penjaminan terhadap hak-hak masyarakat sipil ialah dengan diamandemennya UUD 1945 yang kemudian memasukan 10 pasal baru tentang hak warga negara..
[23] Data dari Wikipedia menunjukan pada pemilu 1955 diikuti oleh 172 kontestan partai politik dengan empat partai dengan perolehan suara terbesar secara berurutan ialah PNI (22,3%), Masyumi (20,9%), NU (18,4%), dan PKI (15,4%); pemilu tahun 1971 diikuti oleh 10 kontestan partai politik termasuk Golkar yang pada saat itu belum berstatus sebagai partai politik; pemilu 1977,1982,1987,1992, dan 1997 diikuti oleh tiga kontestan, yaitu Golkar (bukan partai politik), PDI, dan PPP; pemilu tahun 1999 diikuti 48 kontestan partai politik termasuk Partai Golkar yang telah berstatus sebagai partai politik; pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik; pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh; pemilu tahun 2014 diikuti oleh 12 partai politik nasional dan 3 partai lokal Aceh. Sumber: http://wikipedia.org/wiki/daftar_partai_politik_di_indonesia. Diakses pada tanggal 9 November 2014.
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Komunitas Gali Softskill (GOKILL)
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top