Tidak
hanya tanah subur dan produksi hasil pertanian yang melimpah, sejak lama
Indonesia juga punya daya tarik lain: panorama alam yang indah dan kebudayaan
nan eksotik.
Pada
permulaan abad 19 pemerintah kolonial Belanda membentuk komisi khusus yang
salah satu tugasnya adalah mendokumentasikan panorama dan kebudayaan Hindia—sebutan
Indonesia pada waktu itu—melalui lukisan. AAJ Payen adalah salah seorang
pelukis yang tergabung dalam komisi tersebut. Selama tinggal di Indonesia pada
rentang waktu 1817-1826 ia berhasil membuat 500-an lukisan yang menceriterakan
berbagai panorama dan kebudayaan di Hindia.
Tidak
hanya Payen, banyak perupa Belanda yang berbondong-bondong melukis keindahan
alam Hindia ke dalam kanvas setelahnya, hingga lahir pula pelukis-pelukis
pribumi yang menganut gaya lukis romantisme ini. Keelokan panorama dan
kebudayaan Hindia pun menyebar luas.
Keindahan Panorama Hindia aka Indonesia Gambar diambil dari: http://wisatadanhotel.com/wp-content/uploads/2014/01/wisata-indonesia-raja-ampat.jpg |
Namun,
tren gaya lukis seperti itu justru mendapat kritik dari S. Sudjono, salah satu
pelukis pribumi yang juga aktif dalam perpolitikan di Indonesia pada
tahun-tahun pra-kemerdekaan. Lukisan-lukisan pemandangan yang indah semacam itu
oleh S. Sudjono, dalam kritik-kritiknya sekitar dasawarsa terakhir masa penjajahan
Belanda, disebut sebagai “Mooi Indie”
(terjemahan: Hindia Belanda yang indah). Menurut Sudjojono, lukisan-lukisan
macam itu justru membuat orang-orang lupa dari keadaan Hindia yang sebenarnya:
terjajah, karena hanya menunjukkan sisi-sisi indah dari Hindia saja. Menurutnya
kesenian seharusnya tidak terlepas dari kondisi realitas masyarakat.
“Benar mooi indie bagi si asing, yang tak pernah melihat pohon kelapa dan sawah, benar mooi indie bagi si turis yang telah jemu melihat skyscapers mereka dan mencari hawa dan pemandangan baru, makan angin katanya, untuk menghembuskan isi pikiran mereka yang hanya bergambar mata uang sahaja,” tulis Sudjojono dalam Majalah Keboedajaan dan Masjarakat, Oktober 1939.
Karya-karya
lukis yang menyebar pada waktu itu banyak menarik minat wisatawan mancanegara
untuk mengunjungi Hindia. Namun sayangnya kedatangan para turis mancanegara
pada waktu itu lebih menunjukkan sisi eksploitatif terhadap tanah pribumi dan
mengesampingkan realitas masyarakatnya. Mereka datang untuk melihat-lihat
panorama yang indah tapi lupa di tanah itu juga hidup masyarakat yang miskin
dan terjajah.
Bagi
saya, membaca kritikan Sudjojono ini bisa jadi adalah bekal yang baik untuk
melebur dalam suatu tempat beserta realitas masyarakatnya secara lebih mendalam
dan terbuka. Perspektif Sudjono soal mooi
indie juga dapat membantu kita terlepas dari kekangan sikap acuh dan
keterlenaan pada berbagai destinasi yang populer, saat melancong misalnya.
Lihat saja, dari sederet bangunan-bangunan yang kita kunjungi atau sederet
foto-foto panorama alam yang terserak di internet, tak kesemuanya diperkenalkan
dengan narasi yang cukup.
Sejak beberapa
tahun belakangan muncul gaya kepenulisan feature
yang menjadi tren di kalangan jurnalis lepas, yaitu travel-writing. Produk-produk tulisan kaum traveler dari hasil berkelana bermunculan. Kegiatan traveling sudah menjadi hype, dari menjelajahi kota-kota, naik
gunung, menjelajahi danau-danau dan pantai asri, atau blusukan ke hutan-hutan. Tapi
apakah para pelancong dan travel writer
itu selain menikmati berbagai destinasi yang ada juga telah menelaah bagaimana
realitas masyarakat di tempat-tempat yang mereka kunjungi? Menikmati sekaligus
mengenalkan berbagai tempat-tempat wisata tentu merupakan hal yang positif.
Tapi mengenal realitas masyarakat setempat juga amat penting.
Ada
sebuah konsep bagus yang juga sering dilontarkan para penggiat kegiatan
melancong itu. Saya menyadurnya dari salah satu halaman sebuah situs traveling. Bunyinya begini: “Bukan
berapa banyak cap negara dalam paspor kamu yang penting, tapi seberapa dalam
kamu mengenal tempat-tempat yang kamu kunjungi”.
Bagai dua
sisi mata uang, selain banyak memberikan manfaat kegiatan traveling juga bisa menjadi ‘perusak’. Surga-surga wisata yang asri
itu suatu waktu bisa jadi dongeng belaka karena habis ‘dieksploitasi’. Begitu
juga masyarakat setempat, mereka bisa jadi kehilangan tanah dan bahkan identitas
budayanya akibat kedatangan para pelancong secara masif. Maka, jika lanskap
alam harus dibuka untuk kepentingan industri wisata, konservasi alam dan
identitas masyarakat setempat tidak boleh dikesampingkan.
Pada
sekitar tahun 1980-an muncul respon terhadap rusaknya hutan dan lingkungan
masyarakat adat di Afrika, yang disebut community
based conservation paradigm. Paradigma itu muncul sebagai salah satu cara
untuk menyeimbangkan kepentingan para pelaku bisnis berbasis sumber daya alam
dengan pelestarian satwa liar, lanskap alam, dan lahan masyarakat Afrika.
Bram
Buscher dalam The Neoliberalisation of Nature
in Africa mengatakan bahwa ecotourism
merupakan salah satu cara untuk mendorong dilakukannya konservasi alam di
Afrika. Bram mengatakan bahwa dengan lanskap alam yang menawan, pariwisata
adalah salah satu industri yang paling cepat berkembang dan menjadi sumber
devisa bagi banyak negara di Afrika. Namun, dalam jurnalnya tersebut Bram juga
menyebutkan pemikiran Richard Branson bahwa itikad untuk menjaga kelestarian
lahan liar beserta satwanya di Afrika adalah satu-satunya cara untuk menjaga
kelestarian masyarakat Afrika itu sendiri. Maka, usaha pengelolaan alam—salah
satunya pengembangan wisata—dengan tetap menjaga identitas masyarakatnya adalah
suatu konsep penting. Dalam hal ini Bram Buscher menyiratkan bahwa alam dan
masyarakatnya merupakan realitas masyarakat yang tidak bisa dipisahkan.
Di
Indonesia, yang juga memiliki lanskap alam menawan, pariwisata merupakan salah
satu peyumbang devisa negara. Tetapi, seperti yang disebutkan di awal,
pemahaman terhadap realitas masyarakat yang mana selalu terkait dengan alamnya tidak boleh dikesampingkan.
Suatu
ketika coba anda luangkan waktu untuk melancong ke suatu tempat di Indonesia,
misalnya Bali yang sudah mainstream, secara berombongan jika bisa. Perjalanan
semacam itu bisa jadi terasa menyenangkan. Anda bisa melihat begitu banyak
obyek-obyek yang menawan, memfotonya dan meng-update di Path, lalu pulang membawa buah tangan untuk famili.
Ditambah lagi, jika anda penyuka musik dangdut koplo—yang biasanya selalu diputar
di bus, lengkaplah sudah kenikmatan tersebut. Perjalanan yang menyenangkan. Tetapi,
menganggapnya sebagai sebuah perjalanan yang menambah khazanah terhadap budaya dan
kearifan masyarakat lokal suatu daerah, bagi saya agak naif, terkecuali anda
mendengarkan baik-baik penjelasan tour
guide—jika ada, bercerita banyak dengan masyarakat setempat, dan sedikit
banyak mengetahui kondisi sosial di tempat-tempat tersebut.
Barangkali
di sana juga anda akan banyak melihat masyarakat lokal yang suka nanar menatap tanah-tanah
mereka yang kini menjadi hotel-hotel yang dimiliki orang asing atau melihat
laut-laut mereka yang akan direklamasi. Sementara mereka cuma bisa jadi
pengusaha wisata kelas dua, hingga pekerja wisata kelas bawah.
Atau
tidak usah jauh-jauh, barangkali rumah-rumah yang kita diami saat ini dulunya
adalah tempat berakarnya pohon-pohon yang ditanam moyang kita sebelum diratakan
dengan tanah untuk kepentingan pemukiman. Bisa jadi juga, bangunan-bangunan
megah kampus kita dulunya adalah hutan-hutan asri, ladang jagung milik warga
yang dibeli murah, atau tempat wewe gombel beranak pinak. Bisa jadi.
Penduduk Setempat gambar diambil dari: http://www.yukpegi.com/wp-content/uploads/2013/06/mengenal-keunikan-budaya-dan-desa-tempat-tinggal-suku-sasadikesampingkan |
Kritik Sudjono soal mooi indie masih relevan hingga sekarang. Mengagumi berbagai potret alam dan bangunan eksotis tanpa memahami narasi di belakangnya mungkin sama seperti melihat kondisi masyarakat era kolonial lewat lukisan mooi indie belaka, melenakan, membutakan, dan membikin bebal termakan pencitraan. Jika tidak awas, sembari lupa realitas masyarakat setempat, kita juga bisa lupa kalau sedikit demi sedikit tempat-tempat yang dulu menawan itu telah semakin rusak.
Kontributor adalah Ismail Nur Hidayat, mahasiswa jursan Teknik Mesin Universitas Dipongoro ini lahir pada tanggal 7 Juni 1992, memiliki beberapa bisnis dan aktif dalam organisasi terutama pers kampus. Jika teman-teman ingin berkenalan lebih jauh berikut twitternya @ismail_kra.
0 comments