Monday 6 October 2014

Perlawanan Terhadap ‘Mooi Indie’

Tidak hanya tanah subur dan produksi hasil pertanian yang melimpah, sejak lama Indonesia juga punya daya tarik lain: panorama alam yang indah dan kebudayaan nan eksotik.

Pada permulaan abad 19 pemerintah kolonial Belanda membentuk komisi khusus yang salah satu tugasnya adalah mendokumentasikan panorama dan kebudayaan Hindia—sebutan Indonesia pada waktu itu—melalui lukisan. AAJ Payen adalah salah seorang pelukis yang tergabung dalam komisi tersebut. Selama tinggal di Indonesia pada rentang waktu 1817-1826 ia berhasil membuat 500-an lukisan yang menceriterakan berbagai panorama dan kebudayaan di Hindia.

Tidak hanya Payen, banyak perupa Belanda yang berbondong-bondong melukis keindahan alam Hindia ke dalam kanvas setelahnya, hingga lahir pula pelukis-pelukis pribumi yang menganut gaya lukis romantisme ini. Keelokan panorama dan kebudayaan Hindia pun menyebar luas.

Keindahan Panorama Hindia aka Indonesia
Gambar diambil dari: http://wisatadanhotel.com/wp-content/uploads/2014/01/wisata-indonesia-raja-ampat.jpg

Namun, tren gaya lukis seperti itu justru mendapat kritik dari S. Sudjono, salah satu pelukis pribumi yang juga aktif dalam perpolitikan di Indonesia pada tahun-tahun pra-kemerdekaan. Lukisan-lukisan pemandangan yang indah semacam itu oleh S. Sudjono, dalam kritik-kritiknya sekitar dasawarsa terakhir masa penjajahan Belanda, disebut sebagai “Mooi Indie” (terjemahan: Hindia Belanda yang indah). Menurut Sudjojono, lukisan-lukisan macam itu justru membuat orang-orang lupa dari keadaan Hindia yang sebenarnya: terjajah, karena hanya menunjukkan sisi-sisi indah dari Hindia saja. Menurutnya kesenian seharusnya tidak terlepas dari kondisi realitas masyarakat.

“Benar mooi indie bagi si asing, yang tak pernah melihat pohon kelapa dan sawah, benar mooi indie bagi si turis yang telah jemu melihat skyscapers mereka dan mencari hawa dan pemandangan baru, makan angin katanya, untuk menghembuskan isi pikiran mereka yang hanya bergambar mata uang sahaja,” tulis Sudjojono dalam Majalah Keboedajaan dan Masjarakat, Oktober 1939.

Karya-karya lukis yang menyebar pada waktu itu banyak menarik minat wisatawan mancanegara untuk mengunjungi Hindia. Namun sayangnya kedatangan para turis mancanegara pada waktu itu lebih menunjukkan sisi eksploitatif terhadap tanah pribumi dan mengesampingkan realitas masyarakatnya. Mereka datang untuk melihat-lihat panorama yang indah tapi lupa di tanah itu juga hidup masyarakat yang miskin dan terjajah.

Bagi saya, membaca kritikan Sudjojono ini bisa jadi adalah bekal yang baik untuk melebur dalam suatu tempat beserta realitas masyarakatnya secara lebih mendalam dan terbuka. Perspektif Sudjono soal mooi indie juga dapat membantu kita terlepas dari kekangan sikap acuh dan keterlenaan pada berbagai destinasi yang populer, saat melancong misalnya. Lihat saja, dari sederet bangunan-bangunan yang kita kunjungi atau sederet foto-foto panorama alam yang terserak di internet, tak kesemuanya diperkenalkan dengan narasi yang cukup.

Sejak beberapa tahun belakangan muncul gaya kepenulisan feature yang menjadi tren di kalangan jurnalis lepas, yaitu travel-writing. Produk-produk tulisan kaum traveler dari hasil berkelana bermunculan. Kegiatan traveling sudah menjadi hype, dari menjelajahi kota-kota, naik gunung, menjelajahi danau-danau dan pantai asri, atau blusukan ke hutan-hutan. Tapi apakah para pelancong dan travel writer itu selain menikmati berbagai destinasi yang ada juga telah menelaah bagaimana realitas masyarakat di tempat-tempat yang mereka kunjungi? Menikmati sekaligus mengenalkan berbagai tempat-tempat wisata tentu merupakan hal yang positif. Tapi mengenal realitas masyarakat setempat juga amat penting.

Ada sebuah konsep bagus yang juga sering dilontarkan para penggiat kegiatan melancong itu. Saya menyadurnya dari salah satu halaman sebuah situs traveling. Bunyinya begini: “Bukan berapa banyak cap negara dalam paspor kamu yang penting, tapi seberapa dalam kamu mengenal tempat-tempat yang kamu kunjungi”.

Bagai dua sisi mata uang, selain banyak memberikan manfaat kegiatan traveling juga bisa menjadi ‘perusak’. Surga-surga wisata yang asri itu suatu waktu bisa jadi dongeng belaka karena habis ‘dieksploitasi’. Begitu juga masyarakat setempat, mereka bisa jadi kehilangan tanah dan bahkan identitas budayanya akibat kedatangan para pelancong secara masif. Maka, jika lanskap alam harus dibuka untuk kepentingan industri wisata, konservasi alam dan identitas masyarakat setempat tidak boleh dikesampingkan.

Pada sekitar tahun 1980-an muncul respon terhadap rusaknya hutan dan lingkungan masyarakat adat di Afrika, yang disebut community based conservation paradigm. Paradigma itu muncul sebagai salah satu cara untuk menyeimbangkan kepentingan para pelaku bisnis berbasis sumber daya alam dengan pelestarian satwa liar, lanskap alam, dan lahan masyarakat Afrika.

Bram Buscher dalam The Neoliberalisation of Nature in Africa mengatakan bahwa ecotourism merupakan salah satu cara untuk mendorong dilakukannya konservasi alam di Afrika. Bram mengatakan bahwa dengan lanskap alam yang menawan, pariwisata adalah salah satu industri yang paling cepat berkembang dan menjadi sumber devisa bagi banyak negara di Afrika. Namun, dalam jurnalnya tersebut Bram juga menyebutkan pemikiran Richard Branson bahwa itikad untuk menjaga kelestarian lahan liar beserta satwanya di Afrika adalah satu-satunya cara untuk menjaga kelestarian masyarakat Afrika itu sendiri. Maka, usaha pengelolaan alam—salah satunya pengembangan wisata—dengan tetap menjaga identitas masyarakatnya adalah suatu konsep penting. Dalam hal ini Bram Buscher menyiratkan bahwa alam dan masyarakatnya merupakan realitas masyarakat yang tidak bisa dipisahkan.

Di Indonesia, yang juga memiliki lanskap alam menawan, pariwisata merupakan salah satu peyumbang devisa negara. Tetapi, seperti yang disebutkan di awal, pemahaman terhadap realitas masyarakat yang mana selalu terkait dengan alamnya tidak boleh dikesampingkan.

Suatu ketika coba anda luangkan waktu untuk melancong ke suatu tempat di Indonesia, misalnya Bali yang sudah mainstream, secara berombongan jika bisa. Perjalanan semacam itu bisa jadi terasa menyenangkan. Anda bisa melihat begitu banyak obyek-obyek yang menawan, memfotonya dan meng-update di Path, lalu pulang membawa buah tangan untuk famili. Ditambah lagi, jika anda penyuka musik dangdut koplo—yang biasanya selalu diputar di bus, lengkaplah sudah kenikmatan tersebut. Perjalanan yang menyenangkan. Tetapi, menganggapnya sebagai sebuah perjalanan yang menambah khazanah terhadap budaya dan kearifan masyarakat lokal suatu daerah, bagi saya agak naif, terkecuali anda mendengarkan baik-baik penjelasan tour guide—jika ada, bercerita banyak dengan masyarakat setempat, dan sedikit banyak mengetahui kondisi sosial di tempat-tempat tersebut.

Barangkali di sana juga anda akan banyak melihat masyarakat lokal yang suka nanar menatap tanah-tanah mereka yang kini menjadi hotel-hotel yang dimiliki orang asing atau melihat laut-laut mereka yang akan direklamasi. Sementara mereka cuma bisa jadi pengusaha wisata kelas dua, hingga pekerja wisata kelas bawah.

Atau tidak usah jauh-jauh, barangkali rumah-rumah yang kita diami saat ini dulunya adalah tempat berakarnya pohon-pohon yang ditanam moyang kita sebelum diratakan dengan tanah untuk kepentingan pemukiman. Bisa jadi juga, bangunan-bangunan megah kampus kita dulunya adalah hutan-hutan asri, ladang jagung milik warga yang dibeli murah, atau tempat wewe gombel beranak pinak. Bisa jadi.

Penduduk Setempat
gambar diambil dari: http://www.yukpegi.com/wp-content/uploads/2013/06/mengenal-keunikan-budaya-dan-desa-tempat-tinggal-suku-sasadikesampingkan

Kritik Sudjono soal mooi indie masih relevan hingga sekarang. Mengagumi berbagai potret alam dan bangunan eksotis tanpa memahami narasi di belakangnya mungkin sama seperti melihat kondisi masyarakat era kolonial lewat lukisan mooi indie belaka, melenakan, membutakan, dan membikin bebal termakan pencitraan. Jika tidak awas, sembari lupa realitas masyarakat setempat, kita juga bisa lupa kalau sedikit demi sedikit tempat-tempat yang dulu menawan itu telah semakin rusak.


Kontributor adalah Ismail Nur Hidayat, mahasiswa jursan Teknik Mesin Universitas Dipongoro ini lahir pada tanggal 7 Juni 1992, memiliki beberapa bisnis dan aktif dalam organisasi terutama pers kampus. Jika teman-teman ingin berkenalan lebih jauh berikut twitternya @ismail_kra.
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Komunitas Gali Softskill (GOKILL)
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top