Tuesday 22 October 2013

MEDIA by Ismail Nur Hidayat

sumber: http://www.99medialab.com/6-social-media-enhancements-which-make-an-online-marketers-job-easier/


Hai hai gokillers, Jumat lalu (18/10) kita membahas ttg Media yg dibawakan oleh Mas SuperCool,  aka Mas Ismail. Nah, sambil menunggu ulasan yg akan diposting oleh mbak GSN, kita simak dulu yuk tulisan Mas SuperCool tadi, banyak banget manfaatnya dan menambah pengetahuan bgt lho,,, cekidot gan!
ps: Mas Ismail ini selain aktif di Gokill Community ternyata juga admin @infoUndip dan aktif juga di Pers Teknik, Momentum, waaaah keren bgt kaaan?

MEDIA
by: Ismail Nur Hidayat


Di malam digelarnya pertandingan final Piala AFF U-19 yang mempertemukan Indonesia melawan Vietnam, seorang kawan bertanya pada saya mengenai venue digelarnya pertandingan tersebut. “Bang, itu stadionnya di mana?” ia bertanya. “Di Sidoarjo,” jawab saya.
Dengan sedikit menyangsikan jawaban saya, ia kembali melontarkan sebuah pertanyaan. “Bukannya Sidoarjo sekarang lagi kena lumpur ya?” tanyanya sedikit keheranan.
Pertanyaan seorang kawan yang begitu lugunya itu mengingatkan saya pada artikel yang ditulis seorang blogger yang ia submit di sebuah situs berita. Dalam tulisannya, ia menuliskan pesan yang disampaikan Bupati Sidoarjo saat memberikan sambutan pada kopdar blogger nasional tahun 2011. Kala itu, Bupati Sidoarjo mengatakan sebuah keluhkesah. “Sidoarjo tidak tenggelam oleh lumpur, tapi tenggelam oleh pemberitaan media,” katanya. Dalam sambutannya itu, ia meminta pada para blogger yang hadir untuk menuliskan hal-hal tentang Sidoarjo sesuai keadaan semestinya, agar kota itu tak lagi ‘tenggelam’.
Pernyataan Bupati Sidoarjo tersebut bukan tanpa alasan. Faktanya, hanya 2% wilayah Sidoarjo yang terkena dampak lumpur Lapindo. Sementara itu, wilayah-wilayah lain masih cukup aman. Pemberitaan media yang overrated telah membuat industri-industri kecil di Sidoarjo sepi pelanggan. Bupati Sidoarjo sangat menyadari hal itu.
Ada kalanya publikasi media menjadi katalis yang paling ampuh untuk mempercepat tercapainya hal-hal besar, bahkan hingga pengukuhan kemerdekaan suatu negara misalnya.
Tahun 1997 timnas sepakbola Indonesia melakukan pertandingan persahabatan melawan negara yang baru saja merdeka, Bosnia Herzegovina. Pertandingan itu tampak tak ada beda dengan pertandingan-pertandingan persahabatan antar negara lainnya. Namun, sebagai sebuah negara yang baru saja merdeka, Bosnia Herzegovina menitipkan beban berat di pundak para pemain timnas sepakbola mereka. Mereka adalah duta negara yang akan memperkenalkan wajah baru Bosnia setelah merdeka dengan serangkaian tur pertandingan sepakbola ke berbagai tempat di muka bumi. Sebelum menjalani tur tersebut, mereka harus menghadapi tugas berat: keluar Sarajevo —ibu kota Bosnia Herzegovina— hidup-hidup.
Kala itu, keluar dari Sarajevo terlihat sebagai sebuah tindakan konyol. Separuh batas kota Sarajevo dikuasai tentara Serbia yang akan menembakkan peluru pada siapapun yang berusaha melewati hadangan mereka, separuhnya lagi dikuasai tentara PBB yang tak mempersilakan siapapun masuk maupun keluar dari Sarajevo. Pendek kata, saat itu Sarajevo menjadi sebuah kota terisolir. Keluar dari Sarajevo, bagi siapapun, adalah tindakan bunuh diri yang nyata. Tapi para pemain timnas Bosnia melakukan itu.
Fuad Muzurovic, pelatih timnas Bosnia Herzegovina kala itu dan 28 pemainnya harus berjalan merangkak melalui sebuah lapangan yang dijaga ketat tentara Serbia hingga mencapai sebuah airport. Agar usaha mereka menerobos penjagaan tentara Serbia berjalan mulus, mereka tidak merangkak bergerombol. 28 pemain itu dibagi menjadi 4 satuan yang masing-masing satuan dipimpin oleh seorang tentara elit Bosnia. Hasilnya mereka berhasil menerobos penjagaan dan sampai di airport.
Sesampainya di airport, mereka berlari sekuat tenaga dengan beban ransel di pundak. Mereka hanya punya dua pilihan, berhenti lalu mati atau berlari sekuat tenaga sembari menghindari hujan peluru dari senapan tentara Serbia.
Perjalanan tidak sampai di situ. Setelah melalui hadangan tentara Serbia, mereka masih harus melewati penjagaan tentara PBB. Karena tahu tentara PBB tak akan mengijinkan siapapun keluar maupun masuk Sarajevo, mereka menerapkan sebuah trik.
“Tank PBB memiliki lampu sorot yang bisa terlihat dari jauh. Saat kami melihat tank PBB datang kami yang sedang berusaha keluar dari Sarajevo, langsung memutar badan seolah-olah kami hendak masuk ke Sarajevo. Ini adalah trik yang harus kami lakukan dan berhasil. Kami dibawa keluar oleh tentara PBB yang menyangka kami hendak masuk ke Sarajevo, ” kata Fuad Muzurovic seperti yang ditulis oleh Pangeran Siahaan dalam artikelnya.
Setelah lolos dari tentara PBB, mereka masih harus mengarungi bukit-bukit terjal sembari menghindari patrol tentara Serbia. Mereka butuh waktu 2 hari sejak awal keberangkatan dari Sarajevo hingga ke tempat aman, Kroasia. Dari Kroasia barulah mereka melakukan tur ke berbagai negara.
Tim olah raga ini telah dipersiapkan sejak lama. Mereka telah lama berlatih di sebuah hall basket semasa perang walaupun di luar hall hujan peluru dan tembakan berdengung di mana-mana. Mereka dipersiapkan untuk memperkenalkan negara baru tersebut ke dunia luar.
Pada akhirnya, tugas berat yang mereka jalani bukanlah hal yang sia-sia. Mereka menjalani 54 pertandingan internasional di 17 negara di kemudian hari. Dengan berbagai publikasi media, mereka berhasil menunjukkan pada khalayak ramai bahwa negara mereka benar-benar telah merdeka.
Puluhan tahun lalu, jauh sebelum kisah heroik para duta Bosnia ini terdengar, Indonesia mempunyai cerita sendiri yang tak kalah heroiknya. Saat terjadi Agresi Militer Belanda II, Belanda berusaha segencar mungkin memproklamirkan pada dunia internasional bahwa mereka telah kembali menguasai Indonesia.
Namun, propaganda Belanda ini terpentalkan. Kala itu pemerintah Indonesia memiliki sebuah pemancar radio RRI. Pemancar radio yang beratnya 1,5 ton dan mempunyai jangkauan hingga ke luar negeri itu menjadi satu-satunya alat propaganda Bangsa Indonesia ke dunia luar setelah pemancar radio lain milik RRI dibom Belanda. Karenanya, Belanda berusaha keras mencari dan memusnahkan pemancar radio itu.
Pemancar radio yang semula berlokasi di Kota Surakarta dipindahkan ke tempat yang aman. Setelah diangkut menggunakan sebuah truk Chevrolet tua dari Surakarta ke Tawangmangu, pemancar radio tersebut harus dibopong bersama-sama oleh penduduk setempat sejauh puluhan kilometer menuju Desa Balong, sebuah tempat di Jenawi, Karanganyar. Saking beratnya, mereka sampai harus menggunakan tiang listrik sebagai tandu.
Belanda sempat mencium keberadaan pemancar itu. Beruntung pemancar itu buru-buru disimpan di sebuah rerimbunan pohon bambu, hingga saat Belanda membakar rumah-rumah dan markas militer di Desa Balong, radio itu tetap tak mereka ketemukan dan bisa tetap mengudara. Media radio berhasil membantu Indonesia melangkah lebih jauh dari hanya sekadar menjadi jajahan belanda.
Di era kehidupan yang lebih mapan dengan intensitas konflik antar negara yang tidak sederas tengah abad lalu, media masih diposisikan sebagai unsur penting dalam masyarakat. Media tentu bukan lagi menjadi alat propaganda. Media menjadi pihak ketiga penghubung antara sebuah kelompok masyarakat kepada masyarakat lainnya. Seperti dalam dunia bisnis dan perdagangan, misalnya.
Dalam dunia korporasi dikenal jabatan media relations officer atau media officer. Media officer ialah pihak yang bertanggungjawab menciptakan keterjalinan arus informasi antara perusahaan dan media massa. Media massa merupakan salah satu akses bagi perusahaan untuk menjaga reputasi perusahaan dan meningkatkan brand image, oleh karena itu media officer memiliki peranan penting. Terlebih di era sebelum internet berkembang, peran media officer sangatlah penting.
Tidak hanya bagi sebuah perusahaan, keterjalinan arus informasi antara media dan individu sebagai brand pun sangat penting pada beberapa kasus. Di luar negeri, seorang atlet seperti Boris Becker —petenis dunia berkebangsaan Jerman— pun mempekerjakan seorang brand manager bernama Marco Casanova. Marco Casanova dikenal sebagai seorang dosen di bidang branding dan marketing communication di Swiss, sekaligus pendiri The Branding Institute, suatu institut penelitian komunikasi bisnis pertama di kota Bern, Swiss.
Dalam kasus ini, Boris Becker adalah sebuah brand. Ia dapat memperoleh penghasilan tidak hanya dari hadiah-hadiah kejuaraan yang ia jalani, tetapi dari kegiatan sportainment di luar pertandingan, seperti iklan misalnya.
Profesor Casanova, setelah melalui masa-masa keemasan bersama Boris Becker, juga pernah menerima tawaran UEFA (asosiasi sepakbola Eropa) untuk menjadi media officer. Ia bertanggungjawab mengkoordinir media-media yang menjadi partner UEFA saat berlangsung berbagai event UEFA seperti Champions League dan Piala Eropa.
Di Eropa, sepakbola telah lama menjadi gaya hidup masyarakat dan dikelola secara profesional. Maka tak heran jabatan media officer menjadi sangatlah penting untuk menghubungkan pihak klub atau asosiasi dengan media dan masyarakat. Karena  sesuai instruksi FIFA, media officer merupakan salah satu unsur keprofesionalan sebuah klub atau asosiasi sepakbola.
Di Liga Indonesia pun PSSI melalui Badan Liga Indonesia (BLI) juga telah mewajibkan setiap klub memiliki media officer pada tahun 2008 walaupun baru secara mutlak difungsikan secara menyeluruh pada tahun 2010. Dengan terjalinnya hubungan sebuah klub sepakbola dengan media, klub diharapkan dapat lebih mendekatkan diri dengan fans dan meningkatkan brand image yang pada akhirnya akan membuat klub mendapatkan keuntungan secara financial maupun moriil.
Di era web 2.0 seperti sekarang ini, media massa bukan lagi menjadi satu-satunya jembatan informasi yang menghubungkan organisasi/ perusahaan dengan masyarakat walaupun media officer masih tetap menjadi unsur penting. Sumber informasi juga bukan lagi milik organisasi dan perusahaan, karena setiap orang memiliki akses untuk menyampaikan informasi ke publik. Hal inilah yang menjadi gambaran era keterbukaan informasi. Tiap orang mempunyai akses talk, share, and listen ke publik.
Seorang penulis football financial, Aditya Nugroho, pernah menuliskan gagasan Alvin Toffler. Dalam tulisannya ia melansir kutipan Alvin Toffler.
“Society needs people who take care of the elderly and who know how to be compassionate and honest. Society needs people who work in hospitals. Society needs all kinds of skills that are not just cognitive; they’re emotional, they’re affectional. You can’t run the society on data and computers alone,” kutipnya.
Aditya Nugroho, dalam tulisannya tersebut, mengemukakan gagasan bahwa di era keterbukaan informasi seperti ini, seseorang dapat menjalankan teori Alvin Toffler ini. Dengan menuliskan informasi maupun pengetahuan sesuai keahlian masing-masing—melalui platform blog atau media sosial, kita dapat menjadi bagian dari pekerja yang dibutuhkan society, karena menurut Alvin Toffler masyarakat tidak hanya butuh pada pekerja yang mampu secara kognitif tetapi juga afektif atau dengan kata lain pekerja yang memiliki kepedulian pada masyarakat. 


Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Komunitas Gali Softskill (GOKILL)
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top