sumber: http://www.99medialab.com/6-social-media-enhancements-which-make-an-online-marketers-job-easier/ |
Hai hai gokillers, Jumat lalu (18/10) kita membahas ttg Media yg dibawakan oleh Mas SuperCool, aka Mas Ismail. Nah, sambil menunggu ulasan yg akan diposting oleh mbak GSN, kita simak dulu yuk tulisan Mas SuperCool tadi, banyak banget manfaatnya dan menambah pengetahuan bgt lho,,, cekidot gan!
ps: Mas Ismail ini selain aktif di Gokill Community ternyata juga admin @infoUndip dan aktif juga di Pers Teknik, Momentum, waaaah keren bgt kaaan?
MEDIA
by: Ismail Nur Hidayat
Di malam digelarnya
pertandingan final Piala AFF U-19 yang mempertemukan Indonesia melawan Vietnam,
seorang kawan bertanya pada saya mengenai venue
digelarnya pertandingan tersebut. “Bang, itu stadionnya di mana?” ia bertanya.
“Di Sidoarjo,” jawab saya.
Dengan sedikit menyangsikan
jawaban saya, ia kembali melontarkan sebuah pertanyaan. “Bukannya Sidoarjo
sekarang lagi kena lumpur ya?” tanyanya sedikit keheranan.
Pertanyaan seorang kawan
yang begitu lugunya itu mengingatkan saya pada artikel yang ditulis seorang
blogger yang ia submit di sebuah
situs berita. Dalam tulisannya, ia menuliskan pesan yang disampaikan Bupati
Sidoarjo saat memberikan sambutan pada kopdar blogger nasional tahun 2011. Kala
itu, Bupati Sidoarjo mengatakan sebuah keluhkesah. “Sidoarjo tidak tenggelam
oleh lumpur, tapi tenggelam oleh pemberitaan media,” katanya. Dalam sambutannya
itu, ia meminta pada para blogger yang hadir untuk menuliskan hal-hal tentang
Sidoarjo sesuai keadaan semestinya, agar kota itu tak lagi ‘tenggelam’.
Pernyataan Bupati Sidoarjo
tersebut bukan tanpa alasan. Faktanya, hanya 2% wilayah Sidoarjo yang terkena
dampak lumpur Lapindo. Sementara itu, wilayah-wilayah lain masih cukup aman.
Pemberitaan media yang overrated
telah membuat industri-industri kecil di Sidoarjo sepi pelanggan. Bupati
Sidoarjo sangat menyadari hal itu.
Ada kalanya publikasi media
menjadi katalis yang paling ampuh untuk mempercepat tercapainya hal-hal besar, bahkan
hingga pengukuhan kemerdekaan suatu negara misalnya.
Tahun 1997 timnas sepakbola
Indonesia melakukan pertandingan persahabatan melawan negara yang baru saja
merdeka, Bosnia Herzegovina. Pertandingan itu tampak tak ada beda dengan
pertandingan-pertandingan persahabatan antar negara lainnya. Namun, sebagai
sebuah negara yang baru saja merdeka, Bosnia Herzegovina menitipkan beban berat
di pundak para pemain timnas sepakbola mereka. Mereka adalah duta negara yang
akan memperkenalkan wajah baru Bosnia setelah merdeka dengan serangkaian tur
pertandingan sepakbola ke berbagai tempat di muka bumi. Sebelum menjalani tur
tersebut, mereka harus menghadapi tugas berat: keluar Sarajevo —ibu kota Bosnia
Herzegovina— hidup-hidup.
Kala itu, keluar dari
Sarajevo terlihat sebagai sebuah tindakan konyol. Separuh batas kota Sarajevo
dikuasai tentara Serbia yang akan menembakkan peluru pada siapapun yang
berusaha melewati hadangan mereka, separuhnya lagi dikuasai tentara PBB yang
tak mempersilakan siapapun masuk maupun keluar dari Sarajevo. Pendek kata, saat
itu Sarajevo menjadi sebuah kota terisolir. Keluar dari Sarajevo, bagi
siapapun, adalah tindakan bunuh diri yang nyata. Tapi para pemain timnas Bosnia
melakukan itu.
Fuad Muzurovic, pelatih
timnas Bosnia Herzegovina kala itu dan 28 pemainnya harus berjalan merangkak
melalui sebuah lapangan yang dijaga ketat tentara Serbia hingga mencapai sebuah
airport. Agar usaha mereka menerobos
penjagaan tentara Serbia berjalan mulus, mereka tidak merangkak bergerombol. 28
pemain itu dibagi menjadi 4 satuan yang masing-masing satuan dipimpin oleh seorang
tentara elit Bosnia. Hasilnya mereka berhasil menerobos penjagaan dan sampai di
airport.
Sesampainya di airport, mereka berlari sekuat tenaga
dengan beban ransel di pundak. Mereka hanya punya dua pilihan, berhenti lalu
mati atau berlari sekuat tenaga sembari menghindari hujan peluru dari senapan
tentara Serbia.
Perjalanan tidak sampai di
situ. Setelah melalui hadangan tentara Serbia, mereka masih harus melewati
penjagaan tentara PBB. Karena tahu tentara PBB tak akan mengijinkan siapapun
keluar maupun masuk Sarajevo, mereka menerapkan sebuah trik.
“Tank PBB memiliki lampu
sorot yang bisa terlihat dari jauh. Saat kami melihat tank PBB datang kami yang
sedang berusaha keluar dari Sarajevo, langsung memutar badan seolah-olah kami
hendak masuk ke Sarajevo. Ini adalah trik yang harus kami lakukan dan berhasil.
Kami dibawa keluar oleh tentara PBB yang menyangka kami hendak masuk ke
Sarajevo, ” kata Fuad Muzurovic seperti yang ditulis oleh Pangeran Siahaan
dalam artikelnya.
Setelah lolos dari tentara
PBB, mereka masih harus mengarungi bukit-bukit terjal sembari menghindari
patrol tentara Serbia. Mereka butuh waktu 2 hari sejak awal keberangkatan dari
Sarajevo hingga ke tempat aman, Kroasia. Dari Kroasia barulah mereka melakukan
tur ke berbagai negara.
Tim olah raga ini telah
dipersiapkan sejak lama. Mereka telah lama berlatih di sebuah hall basket semasa perang walaupun di
luar hall hujan peluru dan tembakan
berdengung di mana-mana. Mereka dipersiapkan untuk memperkenalkan negara baru
tersebut ke dunia luar.
Pada akhirnya, tugas berat
yang mereka jalani bukanlah hal yang sia-sia. Mereka menjalani 54 pertandingan
internasional di 17 negara di kemudian hari. Dengan berbagai publikasi media,
mereka berhasil menunjukkan pada khalayak ramai bahwa negara mereka benar-benar
telah merdeka.
Puluhan tahun lalu, jauh
sebelum kisah heroik para duta Bosnia ini terdengar, Indonesia mempunyai cerita
sendiri yang tak kalah heroiknya. Saat terjadi Agresi Militer Belanda II,
Belanda berusaha segencar mungkin memproklamirkan pada dunia internasional bahwa
mereka telah kembali menguasai Indonesia.
Namun, propaganda Belanda
ini terpentalkan. Kala itu pemerintah Indonesia memiliki sebuah pemancar radio
RRI. Pemancar radio yang beratnya 1,5 ton dan mempunyai jangkauan hingga ke
luar negeri itu menjadi satu-satunya alat propaganda Bangsa Indonesia ke dunia
luar setelah pemancar radio lain milik RRI dibom Belanda. Karenanya, Belanda
berusaha keras mencari dan memusnahkan pemancar radio itu.
Pemancar radio yang semula
berlokasi di Kota Surakarta dipindahkan ke tempat yang aman. Setelah diangkut
menggunakan sebuah truk Chevrolet tua dari Surakarta ke Tawangmangu, pemancar
radio tersebut harus dibopong bersama-sama oleh penduduk setempat sejauh
puluhan kilometer menuju Desa Balong, sebuah tempat di Jenawi, Karanganyar.
Saking beratnya, mereka sampai harus menggunakan tiang listrik sebagai tandu.
Belanda sempat mencium
keberadaan pemancar itu. Beruntung pemancar itu buru-buru disimpan di sebuah
rerimbunan pohon bambu, hingga saat Belanda membakar rumah-rumah dan markas
militer di Desa Balong, radio itu tetap tak mereka ketemukan dan bisa tetap
mengudara. Media radio berhasil membantu Indonesia melangkah lebih jauh dari
hanya sekadar menjadi jajahan belanda.
Di era kehidupan yang lebih
mapan dengan intensitas konflik antar negara yang tidak sederas tengah abad
lalu, media masih diposisikan sebagai unsur penting dalam masyarakat. Media
tentu bukan lagi menjadi alat propaganda. Media menjadi pihak ketiga penghubung
antara sebuah kelompok masyarakat kepada masyarakat lainnya. Seperti dalam
dunia bisnis dan perdagangan, misalnya.
Dalam dunia korporasi
dikenal jabatan media relations officer
atau media officer. Media officer ialah pihak yang
bertanggungjawab menciptakan keterjalinan arus informasi antara perusahaan dan
media massa. Media massa merupakan salah satu akses bagi perusahaan untuk
menjaga reputasi perusahaan dan meningkatkan brand image, oleh karena itu media
officer memiliki peranan penting. Terlebih di era sebelum internet berkembang,
peran media officer sangatlah
penting.
Tidak hanya bagi sebuah
perusahaan, keterjalinan arus informasi antara media dan individu sebagai brand pun sangat penting pada beberapa
kasus. Di luar negeri, seorang atlet seperti Boris Becker —petenis dunia
berkebangsaan Jerman— pun mempekerjakan seorang brand manager bernama Marco Casanova. Marco Casanova dikenal
sebagai seorang dosen di bidang branding dan
marketing communication di Swiss, sekaligus pendiri The Branding Institute, suatu institut penelitian komunikasi bisnis
pertama di kota Bern, Swiss.
Dalam kasus ini, Boris
Becker adalah sebuah brand. Ia dapat
memperoleh penghasilan tidak hanya dari hadiah-hadiah kejuaraan yang ia jalani,
tetapi dari kegiatan sportainment di
luar pertandingan, seperti iklan misalnya.
Profesor Casanova, setelah
melalui masa-masa keemasan bersama Boris Becker, juga pernah menerima tawaran
UEFA (asosiasi sepakbola Eropa) untuk menjadi media officer. Ia bertanggungjawab mengkoordinir media-media yang
menjadi partner UEFA saat berlangsung berbagai event UEFA seperti Champions League dan Piala Eropa.
Di Eropa, sepakbola telah
lama menjadi gaya hidup masyarakat dan dikelola secara profesional. Maka tak
heran jabatan media officer menjadi
sangatlah penting untuk menghubungkan pihak klub atau asosiasi dengan media dan
masyarakat. Karena sesuai instruksi
FIFA, media officer merupakan salah
satu unsur keprofesionalan sebuah klub atau asosiasi sepakbola.
Di Liga Indonesia pun PSSI
melalui Badan Liga Indonesia (BLI) juga telah mewajibkan setiap klub memiliki media officer pada tahun 2008 walaupun
baru secara mutlak difungsikan secara menyeluruh pada tahun 2010. Dengan
terjalinnya hubungan sebuah klub sepakbola dengan media, klub diharapkan dapat
lebih mendekatkan diri dengan fans
dan meningkatkan brand image yang
pada akhirnya akan membuat klub mendapatkan keuntungan secara financial maupun moriil.
Di era web 2.0 seperti
sekarang ini, media massa bukan lagi menjadi satu-satunya jembatan informasi
yang menghubungkan organisasi/ perusahaan dengan masyarakat walaupun media officer masih tetap menjadi unsur
penting. Sumber informasi juga bukan lagi milik organisasi dan perusahaan,
karena setiap orang memiliki akses untuk menyampaikan informasi ke publik. Hal
inilah yang menjadi gambaran era keterbukaan informasi. Tiap orang mempunyai
akses talk, share, and listen ke publik.
Seorang penulis football financial, Aditya Nugroho,
pernah menuliskan gagasan Alvin Toffler. Dalam tulisannya ia melansir kutipan
Alvin Toffler.
“Society
needs people who take care of the elderly and who know how to be compassionate
and honest. Society needs people who work in hospitals. Society needs all kinds
of skills that are not just cognitive; they’re emotional, they’re affectional.
You can’t run the society on data and computers alone,” kutipnya.
Aditya Nugroho, dalam tulisannya tersebut, mengemukakan gagasan bahwa
di era keterbukaan informasi seperti ini, seseorang dapat menjalankan teori
Alvin Toffler ini. Dengan menuliskan informasi maupun pengetahuan sesuai
keahlian masing-masing—melalui
platform blog atau media sosial, kita dapat menjadi bagian
dari pekerja yang dibutuhkan society, karena menurut Alvin Toffler masyarakat
tidak hanya butuh pada pekerja yang mampu secara kognitif tetapi juga afektif
atau dengan kata lain pekerja yang memiliki kepedulian pada masyarakat.
0 comments